Cerita tentang seseorang yang berjuang dengan amat gigih sehingga berhasil meraih kesuksesan, katakanlah menjadi orang yang kaya raya, dari awalnya yang sangat miskin, tentu telah sering kita baca, dengar, atau tonton. Â Dan sebetulnya di balik kesuksesan seseorang selalu ada orang lain di belakang layar yang berperan tak kalah pentingnya, entah itu istri dari sang tokoh, ibu, ayah, saudara, atau temannya.Â
Bahwa ada orang tua yang buta huruf yang dengan semangat pantang menyerahnya berhasil mengangkat derajat anaknya menjadi guru besar di sebuah universitas terpandang, adalah salah satu contoh yang dimaksud di atas. Orangtua membanting tulang mengumpulkan rupiah demi rupiah, bahkan berutang atau menggadaikan barang yang tidak seberapa, demi sang anak tetap bisa bersekolah, menggambarkan pengorbanan yang tak terhingga.
Contoh lain, saat seorang suami memulai karir di sebuah instansi dari posisi paling bawah, peran seorang istri yang selalu memberi semangat, melayani serta menyediakan semua keperluan suami, agar bisa berkonsentrasi di kantor, tentu akan sangat mendukung prestasi kerjanya.Â
Padahal si istri harus pintar-pintar mengatur bagaimana caranya dengan uang belanja yang amat minim dari suaminya, kehidupan tetap berjalan normal. Maka secara perlahan karir suami pun merangkak naik, sampai akhirnya meraih posisi pimpinan.
Lalu, bila setelah jadi pejabat, si suami jarang membawa istrinya ke lingkungan kantor karena penampilan sang istri yang masih "lusuh" dan tidak klop dengan istri para pejabat lain, apakah itu bisa disebut habis manis sepah dibuang?Â
Atau  bila si anak yang setelah jadi profesor jarang berdiskusi dengan orang tuanya di kampung yang tetap buta huruf,  karena kalau diajak diskusi nggak nyambung, apakah si anak menjadi "Malin Kundang" masa kini?
Menjadi orang yang naik status sosialnya memang punya budaya tersendiri. Ruang lingkup pergaulan, tata cara dalam berbicara, berpakaian, makan, menikmati hiburan, tentu berbeda dengan kelompok status sosial di bawahnya.Â
Kalau untuk jadi pejabat ada yang tersiksa karena tidak bisa berbasa-basi gaya kelas atas, tidak bisa menikmati permainan golf, tidak mengerti etika makan di perjamuan resmi yang banyak jenis sendok dan pisaunya, ya sebaiknya tidak usah berburu jabatan.Â
Memang ada orang yang puas sampai level tertentu saja, kalau di kantor misalnya, cukup jadi kepala divisi, dan sama sekali tidak menunjukkan minat untuk jadi direktur. Untuk orang bertipe begini tak usah disebut sebagai pemalas atau kurang gaul. Passion seseorang berbeda-beda, dan tidak bisa dipandang dari satu sisi saja.
Jadi, kalau seseorang di posisi rendah berdoa untuk meraih posisi yang tinggi, kemudian keluarganya juga mati-matian berperan di belakang layar, semuanya haruslah menyadari segala konsekuensinya, termasuk  bagaimana menghadapi cultural shock nantinya.
Bagi tokoh utama, mungkin shock-nya tidak begitu kentara, karena setiap naik satu tingkat, ia belajar beradaptasi. Artinya, budaya orang sukses yang diraihnya tidak datang tiba-tiba.
Hanya saja bila sang tokoh tidak meng-up grade istrinya atau atau orangtuanya, pada setiap kenaikan tingkat, maka begitu sampai di posisi puncak, barulah keluarganya menyadari betapa berjaraknya dunianya dengan dunia sang tokoh. Nah di sinilah petaka itu muncul.
Sang tokoh pada akhirnya merasa "terpaksa" meninggalkan keluarganya, yang meskipun disadarinya telah banyak membantu, namun sekarang sudah gak matching lagi. Â Bukan level gua, kira-kira begitu kata sang tokoh dalam hatinya.
Jadi, agar tidak terjadi "kacang lupa dengan kulitnya" atau "habis manis sepah dibuang" itu tadi, sang tokoh lah yang harus memegang inisiatif, bagaimana agar setiap kemajuan yang diraihnya dinikmati secara bersama-sama dengan pendampingnya.
Dalam hal ini, sang tokoh harus menyisihkan waktu untuk memberikan tambahan pengetahuan dan pengalaman bagi keluarganya, bagaimana bisa masuk ke pergaulan  kalangan yang lebih tinggi status sosialnya. Semuanya harus berjalan setahap demi setahap, tak bisa dari kondisi "udik" langsung dicemplungkan ke gaya "jet set".
Di balik pria sukses, pasti ada wanita (istri dan atau ibu) hebat. Selayaknyalah si wanita hebat juga menikmati buah dari perjuangannya, meskipun perjuangan yang hebat itu pasti tanpa pamrih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H