Hanya saja bila sang tokoh tidak meng-up grade istrinya atau atau orangtuanya, pada setiap kenaikan tingkat, maka begitu sampai di posisi puncak, barulah keluarganya menyadari betapa berjaraknya dunianya dengan dunia sang tokoh. Nah di sinilah petaka itu muncul.
Sang tokoh pada akhirnya merasa "terpaksa" meninggalkan keluarganya, yang meskipun disadarinya telah banyak membantu, namun sekarang sudah gak matching lagi. Â Bukan level gua, kira-kira begitu kata sang tokoh dalam hatinya.
Jadi, agar tidak terjadi "kacang lupa dengan kulitnya" atau "habis manis sepah dibuang" itu tadi, sang tokoh lah yang harus memegang inisiatif, bagaimana agar setiap kemajuan yang diraihnya dinikmati secara bersama-sama dengan pendampingnya.
Dalam hal ini, sang tokoh harus menyisihkan waktu untuk memberikan tambahan pengetahuan dan pengalaman bagi keluarganya, bagaimana bisa masuk ke pergaulan  kalangan yang lebih tinggi status sosialnya. Semuanya harus berjalan setahap demi setahap, tak bisa dari kondisi "udik" langsung dicemplungkan ke gaya "jet set".
Di balik pria sukses, pasti ada wanita (istri dan atau ibu) hebat. Selayaknyalah si wanita hebat juga menikmati buah dari perjuangannya, meskipun perjuangan yang hebat itu pasti tanpa pamrih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H