Sejak Liga 1 bergulir tahun 2017 yang lalu, beberapa klub mencoba mengumpulkan pemain putra daerah  di mana klub itu bermarkas. Sebagai contoh pemain asal Makassar yang bertebaran di banyak klub dibujuk untuk pulang kampung. Maka Hamka Hamzah, Zulkifli Syukur, serta beberapa pemain asli Sulawesi Selatan lainnya yang telah malang melintang di beberapa klub, termasuk pernah membela timnas senior, tertarik "berbakti" ke kampung halamannya dengan menjadi skuad PSM.Â
Hamka Hamzah hanya satu musim kompetisi saja tahan bersama PSM. Tahun ini ia berganti kostum dengan pindah ke Sriwijaya Palembang. Â Namun jangan bilang Hamka "berkhianat", karena dalam sepakbola profesional, sesungguhnya loyalitas kedaerahan tidak dikenal. Satu-satunya loyalitas adalah terhadap uang yang tergambar pada nilai kontrak.
Jadi, jangan samakan loyalitas daerah dengan loyalitas nasional. Dalam pertandingan resmi antar negara, baru layak dipersoalkan bila ada pemain yang menolak dipanggil timnas. Itupun pemain belum tentu "berdosa", bila ternyata klubnya yang menghalangi si pemain untuk memenuhi panggilan timnas.
Bahkan "permusuhanan abadi" seperti antara Persija Jakarta dengan Persib Bandung, sebetulnya lebih banyak terjadi antar pendukung fanatiknya, bukan permusuhan antar pemain atau pengurus. Makanya, para pemain Persija yang pindah ke Persib atau sebaliknya, merupakan hal yang biasa saja. Tapi bisa dipastikan tidak ada Jakmania yang pindah ke Viking, dan sebaliknya.
Di samping Makassar, Surabaya juga menjadi tempat lahirnya banyak bibit pesepakbola berbakat. Wajar saja bila Persebaya yang di tahun lalu meraih juara Liga 2 dan berhak promosi ke Liga 1, berusaha keras memanggil kembali pemain asli Suroboyo yang punya nama besar, seperti Evan Dimas dan Andik Vermansyah. Sayang, dua-duanya akhirnya berlabuh di negeri jiran, Malaysia.Â
Justru Persebaya sekarang seperti tim dari tanah Papua saja, karena banyaknya pemain berdarah Papua, terutama mantan pemain Persipura yang hengkang ke kota buaya tersebut. Jelas Evan dan Andik punya alasan tersendiri kenapa tidak memperkuat klub kota kelahirannya. Demikian pula para pemain Papua yang laku bermain di banyak klub, mereka tetap sebagai putra Papua yang menjadi "duta pemersatu bangsa" dengan melanglang buana ke daerah lain.
Contoh berikutnya adalah betapa gembiranya masyarakat Bali ketika pengusaha Pieter Tanuri mengakuisisi klub Persisam Putra Samarinda yang bangkrut, lalu memindahkan homebase-nya ke Gianyar, Bali, sekaligus mengganti nama klub menjadi Bali United. Beberapa pemain asal Bali yang berkiprah di luar Bali tertarik untuk bergabung, namun tetap jumlahnya masih minoritas dibanding keseluruhan pemain.Â
Bahkan pelatih Bali United saat baru didirikan, Indra Sjafri, gagal merayu anak asuhnya yang berasal dari Bali saat melatih timnas U-19, I Putu Gede Juni Antara, agar memperkuad Bali United. Putu Gede merasa nyaman bermain untuk Bhayangkara FC, sebuah klub hasil merger Surabaya United dan PS Polri.
Menarik pula melihat skuad PSMS Medan yang tahun ini mendapat promosi ke Liga 1, yang ternyata amat sedikit mempunyai pemain berdarah Batak. Namun PSMS berhasil mendatangkan putra Ternate, Frets Butuan, yang sekarang menjadi pemain andalan PSMS. Sementara yang bermarga Batak seperti Riko Simanjuntak digaet Persija, Ferdinan Sinaga yang sempat bermain di Malaysia kembali ke pangkuan PSM, dan Paulo Sitanggang yang membela Barito Putra.
Melihat peta persebakbolaan di tanah air, harus diakui memang ada daerah kaya dan punya beberapa klub profesional, tapi minim pemain berbakat, seperti di Kalimantan. Sebaliknya ada daerah yang relatif miskin sehingga belum melahirkan klub tangguh yang tembus ke Liga 2 atau Liga 1, tapi merupakan gudang pemain usia remaja, seperti Ternate (Maluku Utara) dan Tulehu (Maluku).
Selain Frets Butuan, masih banyak pemain top  berdarah Maluku. Sebut saja Ramdani Lestaluhu (Persija), Zulham Zamrun, Hasim Kipuw, Rizky Pellu (PSM), Rizki Pora (Barito Putra), Alfin Tuasalamony (Sriwijaya) dan sebagainya. Sedangkan Papua tidak perlu diomongkan lagi, inilah Brazil-nya sepakbola Indonesia. Beruntung Papua punya dua klub di liga 1, Persipura Jayapura dan Perseru Serui. Tapi itu belum cukup untuk menampung puluhan, kalau bukan ratusan, seniman bola di sana.Â
Kesimpulannya, tidak relevan mempersoalkan putra daerah dalam persepakbolaan kita. Ini bukan seperti Pilkada yang menempatkan putra daerah sebagai isu yang sensitif. Namun demikian bila ada pemain yang sangat lengket dengan daerah asalnya, perlu diberikan apresiasi. Contohnya adalah Boaz Solossa yang  setia di Persipura.Â
Contoh paling heroik tentu saja almarhum Choirul Huda, putra asli Lamongan yang "cinta mati" dengan Persela Lamongan dalam arti sesungguhnya, karena meninggal saat "berdinas". Sebagai kiper, Choirul menemui ajalnya saat bertanding melawan Semen Padang di Lamongan, 15 Oktober 2017. Choirul berbenturan ketika berusaha meraih bola dari pemain lawan, lalu meninggal di rumah sakit setempat.
Kesetiaan seperti Boaz dan Choirul, ternyata tidak berlaku buat putra daerah saja. Ismed Sofyan, pemuda asli Aceh, selama berkarir di klub pro boleh dikatakan sangat loyal pada klub Persija. Sejak tahun 2002 sampai saat ini di usianya yang ke 38, masih tetap membela tim ibukota tersebut. Rekor ini mungkin tidak tertandingi oleh pemain Persija yang berdarah Betawi sekalipun.
Era sepakbola pro di negara kita telah menjadi pemersatu bangsa, dengan saling berpencarnya para pemain dari berbagai pelosok negeri. Ini tentu harus dipandang sebagai hal yang positif. Jelas sangat berbeda bila dibandingkan dengan yang terjadi di era perserikatan sampai dekade 1970-an. Saat itu klub yang berjaya hanya itu-itu saja yang berasal dari kota-kota yang punya banyak pemain putra daerah, seperti Persib, Persija, Persebaya, dan PSMS.
Dulu karena masih berstatus amatir, maka pemain putra daerah tersebut disiasati agar tetap membela klub daerahnya dengan menjadikan pemain sebagai pegawai negeri atau pegawai perusahaan daerah di kota tersebut. Maka praktis perpindahan antar klub tidak begitu tinggi frekuensinya.
Artikel ini sesungguhnya bertujuan mengajak semua suporter klub manapun di Indonesia untuk tetap memupuk persahabatan dengan kelompok suporter dari kota lain. Boleh-boleh saja fanatik, tapi jangan sampai menjadi permusuhan abadi. Bisa jadi di klub yang dibela terdapat pemain yang berasal dari daerah "musuh", dan sebaliknya di klub "musuh" ada pemain yang justru berasal dari daerah klub yang dibela suatu kelompok suporter.
Janganlah memupuk fanatisme kedaerahan yang sempit pada sepakbola kita, tapi pupuklah rasa nasionalisme secara positif untuk mengangkat prestasi tim nasional Indonesia di semua jenjang usia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H