Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hidup Itu Berputar Seperti Roda Pedati

19 April 2018   11:19 Diperbarui: 19 April 2018   11:42 2645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada pepatah Minang yang populer, yang terjemahan bebasnya kira-kira seperti ini: "hidup itu berputar seperti roda pedati".  Maksudnya tak bisa seseorang itu selamanya berada di atas, akan ada masanya berada di bawah, dan sebaliknya".

Pepatah itulah yang spontan terbersit di benak saya, setelah membaca percakapan di sebuah grup media sosial yang khusus beranggotakan teman-teman saya se-fakultas saat kuliah dulu di salah satu perguruan tinggi negeri.

Ringkasnya, teman saya D lagi menderita sakit kanker stadium lanjut, dan tengah di rawat di sebuah rumah sakit milik pemerintah yang terbesar di negara kita. Di era maraknya media sosial sekarang ini membuat hampir semua teman D dengan sangat cepat sudah mendapat berita tentang penderitaan D.

Fotonya lagi terbaring layu dengan tubuh yang amat kurus, terlihat amat memelas. Apalagi ada dua selang di tubuhnya, masing-masing untuk infus dan untuk air seni. Lalu ada embel-embel pesan dari seorang teman, bahwa D sangat berharap bantuan finansial di samping doa bagi penyembuhannya.

Salah satu keuntungan media sosial adalah dahsyatnya kecepatan dalam mengumpulkan sumbangan. Baru dua hari sudah terkumpul puluhan juta rupiah. Siapa saja yang menyumbang tercantum namanya, sehingga ada aura saling pamer kedermawanan, kecuali beberapa orang yang ditulis sebagai "hamba Allah".

Tapi, media sosial juga sangat keterlaluan sebagai wadah ajang pamer yang telah disinggung di atas, sehingga menurut saya menjadi faktor negatif. Bayangkan, setiap teman yang membesuk D di ruang rawat inapnya, selalu sempat-sempatnya berfoto dengan wajah cerah, sementara D dalam kondisi yang kurang layak untuk berfoto tapi mungkin tak kuasa untuk bilang jangan mengambil foto, apalagi menyebarkannya.

Maka deretan foto-foto sesuai urutan siapa yang duluan membesuk terpampang di grup media sosial. Sebagian disertai catatan laporan pandangan mata bahwa D kondisinya sudah lebih baik ketimbang kemaren, dan meminta semua teman untuk mendoakan kesembuhannya.

Foto dan catatan tersebut boleh juga dibaca sebagai: "Ini lho saya, orang yang sukses dan baik hati, saya memberikan sumbangan besar dan saya juga datang membesuk menunjukkan simpati, tidak sekadar berdoa dari kejauhan saja".

Oke, yang mau pamer biar saja. Tapi saya ingin sedikit bernostalgia mengingat saat menuntut ilmu di perguruan tinggi. Meskipun tidak akrab, hubungan pertemanan saya dengan D relatif baik.

Kenapa tidak akrab? Karena saya dan D punya perbedaan status sosial yang amat berjarak.  Sekitar 35 tahun yang lalu, saat mahasiswa masih jarang yang bawa mobil ke kampus, D telah melakukannya. Sedangkan kebanyakan mahasiswa adalah naik motor butut. 

Saya sendiri sering membonceng motor teman atau naik angkot. Bahkan tidak jarang saya berjalan kaki sejauh sekitar 1 km dari tempat kos ke kampus. Parahnya saya tidak punya rasa percaya diri yang tinggi untuk bergaul dengan teman yang punya mobil sendiri.

Kembali ke teman saya D di saat itu, ia punya segalanya: kaya, pintar, dan tampan. Wajar, kalau banyak mahasiswi yang ingin jadi pacarnya. Maka sesuai hukum alam, geng-nya di kampus adalah kumpulan dari segelintir cowok kaya dan cewek cakep. 

Setelah saya selesai kuliah dan merantau ke Jakarta, saya tidak lagi mengikuti perkembangan D, sampai beberapa tahun lalu ketika saya diundang bergabung dengan kelompok percakapan di dunia maya seperti telah saya tulis di awal tulisan ini.

Saya tidak bermaksud memberi tafsir apapun atas kondisi teman saya itu. Saya tak ingin mengorek apa yang telah diperbuatnya sehingga ia "jatuh" seperti ini, sesuatu yang tak terbayangkan bahwa orang sehebat D bisa terkapar tanpa menyisakan kegagahan masa lalunya.

Apa yang ingin saya sampaikan hanyalah mengulang judul tulisan di atas, hidup itu berputar seperti roda pedati. Tidak ada yang abadi di dunia ini. 

Yang lagi di atas janganlah merasa sombong dan memandang remeh yang di bawah. Perlu ada persiapan sebagai tindakan berjaga-jaga kalau nantinya datang masa menurun. Sebaliknya yang di bawah tetaplah bersemangat agar mampu merangkak naik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun