Kembali ke teman saya D di saat itu, ia punya segalanya: kaya, pintar, dan tampan. Wajar, kalau banyak mahasiswi yang ingin jadi pacarnya. Maka sesuai hukum alam, geng-nya di kampus adalah kumpulan dari segelintir cowok kaya dan cewek cakep.Â
Setelah saya selesai kuliah dan merantau ke Jakarta, saya tidak lagi mengikuti perkembangan D, sampai beberapa tahun lalu ketika saya diundang bergabung dengan kelompok percakapan di dunia maya seperti telah saya tulis di awal tulisan ini.
Saya tidak bermaksud memberi tafsir apapun atas kondisi teman saya itu. Saya tak ingin mengorek apa yang telah diperbuatnya sehingga ia "jatuh" seperti ini, sesuatu yang tak terbayangkan bahwa orang sehebat D bisa terkapar tanpa menyisakan kegagahan masa lalunya.
Apa yang ingin saya sampaikan hanyalah mengulang judul tulisan di atas, hidup itu berputar seperti roda pedati. Tidak ada yang abadi di dunia ini.Â
Yang lagi di atas janganlah merasa sombong dan memandang remeh yang di bawah. Perlu ada persiapan sebagai tindakan berjaga-jaga kalau nantinya datang masa menurun. Sebaliknya yang di bawah tetaplah bersemangat agar mampu merangkak naik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H