Memasuki bulan suci Ramadhan, biasanya ada jenis penyakit sosial yang menurun, tapi ada pula yang meningkat. Dunia hiburan malam beserta "turunan"-nya seperti minuman keras dan prostitusi terselubung, mungkin sedikit berkurang. Namun jumlah pengemis dan jam beroperasinya akan meningkat.
Pengemis wajar saja merasa optimis pendapatannya akan berlipat ganda, karena mereka yang memberi sedekah juga meyakini bahwa sedekah yang diberikan di bulan puasa, mendapat pahala yang jauh lebih banyak ketimbang yang diberikan di luar bulan puasa, meskipun dengan jumlah nominal pemberian yang sama.
Terhadap pengemis memang terasa ada sikap mendua dari masyarakat. Ada kelompok yang cenderung membiarkan saja menjamurnya para pengemis dengan alasan mereka berhak minta belas kasihan dari masyarakat yang mampu.Â
Sedangkan kelompok yang lain, didukung oleh peraturan pemerintah, cenderung menganggap pengemis sebagai bagian dari penyakit sosial yang harus dibatasi ruang geraknya. Makanya pengemis menjadi salah satu obyek razia, dan yang tertangkap dikirim ke panti khusus untuk mendapat pembinaan dari Dinas Sosial.
Dalam hal ini, pemerintah mengharapkan bantuan dari masyarakat kepada pengemis bisa dikoordinir melalui Badan Amil Zakat, Infak, dan Sadaqah (BAZIS), dan bukan diberikan di perempatan jalan yang malahan bisa mengganggu kelancaran arus lalu lintas.
Jangan heran bila ternyata banyak pengemis yang hidup layak dari hasil "pekerjaan"-nya tersebut. Berita tentang pengemis yang tertangkap saat di razia, serta ketahuan punya uang banyak, tidak sekali dua kali terjadi, namun sudah sering dan terdapat di banyak kota besar di negara kita.
Terungkap pula bahwa beberapa pengemis meskipun sudah punya rumah bagus di kampung mereka, lebih sering hidup menggelandang sambil mengemis di ibukota. Kemungkinan ini karena rasa malas untuk bekerja secara mandiri ditambah dengan semakin banyaknya masyarakat yang suka memberi sedekah sehingga "memanjakan" para pengemis.
Makanya berbagai pelatihan yang diberikan Dinas Sosial kepada para pengemis yang tertangkap, belum efektif dalam menggugah mereka untuk mencoba mencari pekerjaan atau berwirausaha. Memulangkan mereka ke kampung halaman hanya membuat mereka tahan sebentar saja, lalu balik lagi ke kota.
Persoalannya lebih kepada kemauan dan semangat juang yang rendah, bukan kepada kemampuan untuk bekerja. Padahal, kata orang, di kota besar apapun bisa jadi uang, asal mau kerja saja dan tidak merasa gengsi. Contohnya dengan menjadi pemulung, pemanggul barang, kuli bangunan, dan sebagainya.Â
Nah, kalau begitu, sebagai anggota masyarakat yang sering menemukan pengemis, sebaiknya apa yang harus kita lakukan? Kita kan tidak mungkin mengecek apakah ia pura-pura cacat. Kita juga tidak mungkin seperti satpol PP yang bisa menciduk dan memeriksa isi kantong mereka untuk memastikannya apakah pengemis kaya atau kere.
Kita memang seperti serba salah. Cuek saja kok kayaknya tidak punya perasaan. Memberikan uang seikhlasnya mungkin menjadi sikap mayoritas kita, tapi ya itu tadi, ini tidak mendidik, malah bisa membuat mereka terlena.
Memberikan sedekah melalui BAZIS, belum tentu lembaga ini menyalurkan kepada pengemis yang sering kita temui di jalanan. Padahal BAZIS banyak yang sudah menerapkan manajemen modern dengan prinsip: "beri kail, bukan ikan".
Maka rasanya kita berharap sekali dengan ketegasan pemerintah, karena banyak daerah yang sudah membuat peraturan yang melarang beroperasinya pengemis dan sekaligus melarang masyarakat memberi uang kepada pengemis. Jika sudah ada perda seperti ini, harus dilaksanakan secara konsisten, termasuk dengan memberi sanksi bagi si pemberi sedekah.
Tentu razia harus dilakukan sesering mungkin, dan mengirim pengemis yang tertangkap ke karantina khusus. Nah, di sini mungkin program pembinaannya harus dikaji ulang dengan melibatkan banyak pihak, tidak semata Dinas Sosial. Psikolog, ulama, BAZIS, motivator, juga harus dilibatkan.
Itupun komunikasi harus dilakukan dalam bahasa yang gampang dimengerti oleh para pengemis tersebut, dan harus mampu membangun komunikasi timbal balik. Kalau perlu, para pengemis yang dikarantina dikelompokkan atas dasar suku mereka agar dicarikan para pembina yang juga berasal dari suku yang sama, sehingga bisa berkomunikasi dalam bahasa yang sama.
Pembinaan harus berjangka panjang, karena setelah dikarantina, para pengemis akan dilepas ke masyarakat tapi tetap dalam pemantauan tim pembina, sampai diyakini mereka telah betul-betul mampu mandiri dengan pekerjaan barunya.
Jelas biayanya akan cukup besar dan tidak tertutupi dari anggaran pemerintah semata. Maka perlu partisipasi dari BAZIS, lembaga swadaya masyarakat, serta kalangan perusahaan dari dana corporate social responsibility-nya.
Nah kalau program tersebut berhasil, tentu pertanyan yang menjadi judul tulisan ini tidak relevan lagi. Bagaimana sebaiknya sikap kita terhadap pengemis? Ya, pengemisnya sudah tidak ada lagi yang berkeliaran di jalanan. Kita cukup menitipkannya melalui panti sosial atau BAZIS yang nanti menyalurkannya pada mantan pengemis yang jadi binaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H