Sebagai contoh, kalau dulu untuk menangani teknologi informasi (TI) cukup satu divisi, sekarang dipecah jadi 3 divisi. Ada yang khusus membuat perencanaan TI, yang khusus membuat program atau aplikasi, dan yang memastikan operasional TI bisa berjalan lancar.Â
Seiring makin besarnya porsi transaksi bank secara digital, juga membentuk pemakaran divisi. Ada divisi yang khusus menangani sisi jaringan elektronik, ada pula yang khusus menangani sisi bisnisnya.
Dengan demikian terbentuklah kotak baru yang harus diisi dengan penambahan pejabat beserta stafnya. Personil baru tersebut bisa direlokasi dari divisi induk sebelum pemekaran, tapi yang lebih sering terjadi adalah dengan merekrut orang baru.Â
Saat dikaji oleh sebuah tim khusus, rencana pemekaran divisi dan penambahan karyawan terlihat logis. Nyatanya, kalau melongok ke kantor pusat beberapa bank, terutama bank milik negara, tak sedikit staf yang nganggur atau lebih bayak main gadget saja.
Itulah gambaran kontradiksi pada perbankan nasional saat ini. Ketika perusahaan rintisan berbasis aplikasi semakin dalam menggempur bank, diperkirakan bank akan merespon dengan beroperasi secara lebih efisien. Eh, ternyata bank semakin menggemukkan badannya, antara lain dengan munculnya SEVP dan pemekaran divisi.
Mari kita tunggu seperti apa perkembangan selanjutnya. Jika perusahaan rintisan yang beroperasi layaknya bank di dunia maya, Â semakin berkembang secara independen, maka pada saatnya gelombang PHK masal di sektor perbankan tidak terhindarkan.
Namun, bila melalui pemekaran organisasi, manajemen bank mampu membuat aplikasi yang menyaingi perusahaan rintisan, atau berkolaborasi dengan perusahaan rintisan yang potensial, maka bank sudah on the right track.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H