PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., selanjutnya ditulis BRI, pada tanggal 16 Desember 2017 yang lalu, baru saja merayakan hari ulang tahun ke 122. Boleh dikatakan bahwa di antara bank-bank  nasional yang sekarang beroperasi, BRI adalah yang tertua. Namun jangan samakan  perusahaan yang tua dengan orang yang tua. Manusia, kalaupun ada yang masih hidup di usia 122 tahun, pastilah sangat renta.
Tak banyak perusahaan di dunia yang bisa bertahan, bahkan semakin berkembang, melebihi satu abad. Maka bagi perusahaan seperti BRI yang mampu seperti itu, tidak layak disebut tua, karena pasti BRI berhasil dalam meremajakan dirinya. Artinya, BRI selalu melakukan inovasi, sehingga selalu selaras dengan kemajuan zaman.
Sungguh tak terbayangkan, bagaimana transformasi dari pengelolaan kas sebuah masjid di Purwokerto, kemudian pada tanggal 16 Desember 1895 oleh Raden Bei Aria Wirjaatmadja didirikan sebuah bank yang dinamakan De Poerwokertosche Hulpen Spaarbank der Indlandsche Hoofden atau Bank Bantuan dan Simpanan Milik Kaum Priyayi Purwokerto, akhirnya seperti yang kita saksikan saat ini, menjelma menjadi bank nasional terbesar di negeri ini.Â
Jadi, awalnya BRI adalah bank ndeso. Namun hebatnya, tanpa melupakan kultur ndeso-nya, yang tercermin dari nilai kekeluargaannya yang tinggi yang mengikat antar sesama karyawan dan antar karyawan dengan nasabahnya, BRI saat ini terlihat sebagai sosok bank yang modern dan trendi. Nilai-nilai kekeluargaan itu, yang dalam tagline BRI disebut sebagai "melayani dengan setulus hati" tetap dipelihara sampai sekarang oleh sekitar 100.000 karyawannya di lebih dari 10.000 jaringan kantor yang dimiliki BRI.
Patut dicatat, bahwa BRI adalah satu-satunya bank di dunia yang memiliki satelit sendiri dalam rangka mempercepat pelayanan bagi puluhan juta nasabahnya yang tersebar di seluruh nusantara, sampai ke kawasan terluar, terpencil, dan terpelosok. Mungkin banyak yang salah persepsi kenapa BRI sangat berani membeli satelit sendiri, yang nota bene belum pernah dilakukan oleh bank-bank besar di luar negeri.
Kita tidak bisa membandingkan BRI dengan bank di Cina yang lebih besar ukurannya. Soalnya, secara geografis Cina adalah sebuah kontinental berupa daratan yang amat luas. Sedangkan Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, sehingga dari kajian para pakar, Â satelit adalah yang paling layak untuk memudahkan operasi bank sebesar BRI. Jadi transaksi antar nasabah, dari ujung barat di Sabang, sampai ujung timur di Merauke, atau dari Pulau Miangas di ujung utara, sampai Pulau Rote di ujung selatan, dapat dilakukan secara real time on line.
Tidak berlebihan rasanya kalau dikatakan, tanpa BRI, gerakan literasi keuangan bagi seluruh masyarakat Indonesia, akan sulit tercapai. Hal ini mengingat bahwa di beberapa kawasan yang sangat terpencil, BRI menjadi satu-satunya kantor bank yang beroperasi. Tidak hanya itu, BRI mempunyai beberapa buah kapal yang disulap menjadi kantor bank yang berlayar antar pulau terluar untuk melayani masyarakat yang selama ini tidak tersentuh oleh pelayanan bank. Ya, bank ndeso itu sekarang telah menjadi bank raksasa perekat nusantara. Sebagai raksasa, BRI adalah raksasa yang lincah.
Jelaslah, bahwa kultur ndeso bila diolah secara baik, bisa berjalan paralel dengan pelayanan modern. Faktor ini pula yang membuat BRI menjadi bank yang terdepan dalam melayani masyarakat kelas menengah ke bawah. Tidak terhitung berapa banyaknya para pedagang kecil, nelayan, petani, peternak, pengrajin, atau sektor lainnya bagi kaum marjinal, telah terangkat kemampuan ekonominya, berkat fasilitas kredit dari BRI. Tentu perlu pula disampaikan bahwa  program pemerintah seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), keberhasilannya sangat tergantung dari keberhasilan BRI sebagai penyalur paling dominan.
Nah inilah paradoks berikutnya dari BRI, setelah berhasilnya memadukan kultur lokal yang ndeso dengan manajemen modern yang telah dibahas sebelumnya. Disebut paradoks, karena bagi bank lain pada umumnya, melayani kredit bagi masyarakat kecil, dipandang sebagai hal yang riskan. Namun BRI telah membuktikan, dengan mengenal lapangan secara baik, justru kredit kecil menjadi win-win solution. Masyarakat kecil terbantu dalam mengembangkan usahanya, BRI juga memperoleh keuntungan dari pengembalian kredit, untuk kembali disalurkan kepada yang membutuhkan.
Tak heran, bila kinerja BRI menjadikannya sebagai bank yang paling kinclong di tanah air. Dengan aset saat ini lebih dari Rp 1.000 triliun, BRI meraih predikat sebagai bank dengan perolehan laba terbesar sejak 12 tahun terakhir. Tentu dengan demikian, deviden yang disetorkan BRI sebagai pemasukan bagi negara, di samping dari berbagai jenis pajak, juga terbilang besar. Bolehlah disebut bahwa BRI banyak berkontribusi bagi pembangunan nasional.
Keberhasilan BRI di atas juga sangat diapresiasi oleh publik. Perlu diketahui, sebagai sebuah perusahaan yang mempunyai reputasi tinggi dan dikelola memenuhi prinsip good corporate governance(GCG), BRI telah berstatus perusahaan publik, sejak "melantai" di Bursa Efek Indonesia (BEI), tanggal 10 November 2003. Dalam struktur pemegang saham, negara masih menjadi pengendali karena memiliki sekitar 55% saham. Sisanya diperjualbelikan di BEI, dan laris manis diburu investor, termasuk investor asing, sehingga layak disebut sebagai saham berkategori blue chips.
Bayangkan betapa "gila"-nya kenaikan nilai kapitalisasi saham BRI. Saat melantai di bursa harga saham berkode BBRI ini sebesar Rp 875 per lembar. Saat penutupan perdagangan saham BEI, Jumat (15/12) yang lalu, harganya adalah Rp 3.390 per lembar. Tapi harus diingat bahwa saham BRI telah mengalami dua kali stock split (pemecahan saham), sehingga ringkasnya satu lembar saham di saat pertama kali masuk bursa, telah dipecah menjadi 10 lembar saham di saat ini. Jadi perbandingan kenaikan harganya adalah dari Rp 875 meroket jadi Rp 33.900.
Pengalaman Pribadi
Secara pribadi, saya sangat bersyukur telah mengenal BRI dari sejak bangku sekolah. Setelah lulus SMP, orang tua saya yang kondisi ekonominya pas-pasan, mengarahkan saya agar masuk SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas) yang merupakan sekolah kejuruan. Bila saya masuk SMA, maka menurut orang tua harus berlanjut ke bangku kuliah, sedangkan lulusan SMEA punya peluang  untuk mendapatkan pekerjaan.
Saat saya belajar di SMEA Negeri Payakumbuh, 125 km di utara kota Padang, Sumatera Barat, prestasi belajar saya terbilang cemerlang, karena hampir selalu medapat predikat juara umum setiap pembagian rapor. Karena mengetahui orang tua saya hanya pedagang kecil, kepala sekolah mengusulkan saya mendapat beasiswa dari pemerintah. Alhamdulillah beasiswa tersebut berhasil saya dapatkan dan diambil setiap tiga bulan di Kantor Cabang BRI Payakumbuh.Â
Berkat bujukan guru, orang tua saya mengizinkan saya melanjutkan pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Padang, setelah saya berhasil dalam seleksi masuk perguruan tinggi negeri, menyisihkan banyak pelamar yang di antaranya berasal dari beberapa SMA favorit, tidak saja dari Sumatera Barat, tapi juga dari luar daerah. Di sini pun saya dapat beasiswa yang diambil di Kantor Cabang BRI Padang. Hal ini tentu sangat membantu meringankan beban orang tua saya.
O ya, saat saya masih di SMEA, bapak saya pernah mendapat fasilitas kredit kecil dari BRI Unit Baso (kota kecamatan yang terletak 20 km dari Payakumbuh arah ke Bukittinggi), dan sayalah yang ditugaskan bapak untuk membayar cicilan bulanan ke Baso. Menurut saya, meski waktu itu corak kantor BRI di era akhir dekade 1970-an sampai awal dekade 1980-an masih bernuansa kantor kecamatan, saya dan keluarga sudah sangat banyak terbantu.
Lalu, sejak tahun 1986 saya bekerja di Jakarta sampai saat ini. Saat itulah saya mulai punya banyak perbandingan, ternyata beberapa bank lain lebih eye catching dari BRI. Awalnya saya terpikir juga untuk membuka rekening di bank yang teknologinya lebih canggih di saat itu. Namun, saya merasa ada keterikatan emosional dengan BRI yang saya anggap sebagai "cinta pertama".
Syukurlah BRI cepat menyadari ketertinggalannya di bidang teknologi, sehingga lebih meyakinkan saya untuk tidak pindah ke lain hati. Toh, apa yang ditawarkan oleh bank tetangga, BRI juga punya, termusak kemudahannya dalam melakukan transaksi melalui ATM, berbelanja di banyak merchant, mobile banking, internet banking, dan sebagainya. Inilah bank yang kokoh di pedesaan dan gampang pula ditemui di semua kota di negara kita, bahkan eksis di beberapa negara di luar negeri.
Justru saat beberapa bank tetangga mendapat "musibah" dengan terganggunya ATM mereka akibat  orbit satelit yang disewanya bergeser beberapa bulan yang lalu, ATM BRI yang terhubung ke satelit milik bank itu sendiri tetap dapat melayani nasabah dengan lancar jaya.
Sungguh saya bangga berbank dengan BRI. Istri dan anak-anak saya pun memiliki rekening di BRI dan merasa puas dengan pelayanannya. Berikutnya kakak-kakak  dan adik-adik saya beserta keluarganya masing-masing, bahkan sampai famili lainnya, juga merasa happy sebagai nasabah BRI.
Selamat Ulang Tahun Bank Rakyat Indonesia. Tetaplah pertahankan nilai-nilai kekeluargaan yang menjadi kekuatan BRI, meski profil demografi ke depan akan didominasi oleh generasi milenial yang maunya serba instan. Saya yakin BRI Â yang tiada henti melakukan inovasi, atau ber-evolusi (BRIvolution menurut manajemen BRI) tentu sudah punya kiat mengahadapi kids zaman now ini.Â
Selain itu, diharapkan BRI tetap setia melayani wong cilik. Tetaplah sebagai bank yang terdepan dalam berkontribusi untuk membantu pembangunan ekonomi nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H