Bagi penggemar lagu-lagu remaja, tentu mengenal kelompok vokal JKT 48, yang terdiri dari banyak cewek cantik yang masih ABG, dengan dandanan ala artis pop Jepang. Sedangkan KBDT 53, sama sekali tidak ada kaitan dengan nyanyi menyanyi. Kebetulan model penyingkatan namanya yang berupa gabungan huruf konsonan dan angka, terkesan meniru JKT 48.Â
D dan T adalah inisial dari nama kedua orang tua saya yang berjodoh di tahun 1953. Saat ini, keluarga besar D dan T, dari anak, menantu, cucu, Â sampai ke cicit berjumlah 47 orang, dan menamakan kelompok ini dengan KBDT 53.
Dalam rangka liburan akhir tahun, kami semua sepakat melakukan piknik bersama di sekitar kota Payakumbuh, Sumatera Barat tempat saya dan semua saudara saya dilahirkan. Namun nasib membawa kami memencar dari Aceh, Riau, Jakarta, Banten, Jawa Barat, serta yang masih bertahan di Sumatera Barat (Payakumbuh dan Padang).Â
Ternyata di obyek yang kami kunjungi memang banyak pengunjung lain yang melirik baju seragam yang kami pakai, tapi tidak ada yang bertanya kami dari kelompok mana. Mungkin karena saking banyaknya kelompok seperti itu, maka hal ini dianggap sudah biasa.
Penjelajahan dimulai di hari Minggu (24/12) setelah sarapan di markas KBDT 53 di Kelurahan Tanjung Gadang, Kecamatan Payakumbuh Barat. Dengan lima buah mobil yang selalu beriringan, obyek pertama yang menjadi sasaran adalah Rumah Gadang Sungai Baringin, sekitar 12 km di utara kota Payakumbuh.
Obyek ini relatif sepi, barangkali karena di Sumbar ada beberapa rumah gadang lain yang lebih menarik, terutama Istana Pagaruyung yang sangat terkenal.  Tapi kesepian ini  membuat kami jadi bebas bergerak, berfoto dengan berbagai pose di bangunan yang diresmikan oleh Menteri Pariwisata Joop Ave, 9 Januari 1994. Pemilik rumah gadang ini adalah seorang saudagar asal desa (di Sumbar disebut nagari) Sungai Baringin, Nasroel Chas.
Tak lama kami di Batu Bulek, karena ingin mengejar lokasi berikutnya, Torang Sari Bulan, di Nagari Sarilamak, sekitar 5 km dari Batu Bulek. Torang Sari Bulan adalah obyek wisata  baru dengan pemandangan indah dari taman buatan. Sayang kami ditolak masuk obyek yang menerapkan konsep syariah ini. Di sini ada tiga larangan, yakni merokok, menghidupkan musik, dan berpacaran, serta satu kewajiban, yakni wajib berbusana muslim. Aturan ini tertulis jelas di gerbang masuk.Â
Menurut kami, aturan tersebut telah kami patuhi. Tapi penjaga di pintu masuk menilai ada anggota kami yang meskipun berhijab, tapi celananya ketat. Maka dengan agak dongkol kami tancap gas menuju Pilubang Resort, yang tidak jauh dari Sarilamak. Tempat ini sering dipakai untuk kegiatan outbond karena berupa alam terbuka dengan pepohonan rindang. Resort yang terbuat dari kayu dan bambu, juga bangunan aula, mushala dan toilet terlihat antik. Di sinilah kami menggelar tikar untuk makan siang dengan bekal yang kami bawa dari rumah.
Puas berfoto, baik bersama-sama, maupun dalam kelompok kecil, serta menikmati aneka jajanan yang banyak dijual pedagang dengan kios berupa tenda, kami pun didera kelelahan dan ingin segera sampai ke homestay yang sudah kami booking di Kawasan Wisata Lembah Harau. Inilah kawasan utama paling populer di Payakumbuh, dan sekaligus juga menjadi andalan Provinsi Sumbar. Di sini terdapat bukit berbatu terjal yang amat panjang, serta beberapa air terjun.Â
Sayangnya, jalan raya menuju Harau dan juga di dalam kawasan wisata, relatif sempit, dan tidak mampu menampung arus kendaraan dari berbagai daerah, termasuk bus pariwisata berukuran besar, sehingga antrian bisa mengular sampai 5 km dari pintu gerbang kawasan wisata. Bahkan ada banyak kendaraan dari Riau yang sampai ke lokasi di sore hari, tidak diperkenankan memasuki kawasan wisata karena kondisi lalu lintas yang teramat penuh.
Kami yakin kedua orangtua kami yang sudah berpulang ke rahmatullah tahun 1990 (ibu) dan 2009 (ayah) berbahagia di alam baka melihat anak-anaknya bisa kompak melestarikan nilai-nilai kekeluargaan yang beliau ajarkan, dan sekarang kami teruskan pula kepada anak-anak kami.
Cerita berlanjut ke hari kedua (Senin 25/12). Setelah makan nasi goreng dan bubur kacang hijau (kata orang Minang: bubur kacang padi) yang disajikan pengelola homestay, kami pun mengeksplor kawasan wisata yang lumayan luas itu, yang sebagian masih alami, karena wisatawan hanya menumpuk di kawasan utama yang dekat dari gerbang masuk.
Maka kami pun bagai melakukan off-road dengan melewati jalanan kecil yang belum beraspal menuju Sarasah Murai, tempat areal camping dan ada air terjun bertingkat yang tersembunyi, sehingga harus ditempuh dengan berjalan kaki secara hati-hati. Capek namun terbayarkan dengan keindahan, kejernihan dan kesejukan air terjun tersebut.
Takut dengan kemacetan, kami sengaja siang hari sudah meninggalkan Lembah Harau. Tapi ternyata tetap saja kami butuh satu jam baru terlepas dari kemacetan.
Kami makan siang di sebuah rumah makan berkonsep lesehan (bahasa Minang: baselo) di Lubuak Surien, 15 km di utara Payakumbuh, dengan pemandangan areal persawahan yang indah. Selanjutnya kami kembali ke markas KBDT 53 dengan penuh rasa syukur dan puas. Semoga acara ini bisa berlanjut ke obyek wisata lain di tahun depan.
Hanya saja, Payakumbuh harus banyak berbenah, terutama dalam memperbaiki infrastruktur jalan raya menuju obyek wisata, serta dalam memelihara bangunan obyek wisata. Kesiapan dan kesigapan petugas bila terjadi bencana atau kecelakaan di tengah keramaian pelancong perlu disediakan dan dilatih.