Sekarang ini, para karyawan, baik yang berstatus pegawai negeri, karyawan perusahaan swasta ataupun badan usaha milik negara, tidak ada lagi yang menerima gaji secara tunai. Bahkan upah pekerja di pabrik pun kebanyakan dilakukan melalui bank. Demikian pula tenaga alih daya seperti petugas kebersihan di Jakarta, menerima imbalan dengan cara yang sama.
Artinya, mau tak mau, banyak orang yang diharuskan membuka rekening di sebuah bank, dan pada setiap tanggal gajian akan ada transfer masuk ke rekening tersebut. Nah, bagaimana cara seseorang, terutama bagi yang masuk kelompok orang gajian, mengelola rekeningnya, menjadi penting untuk kesejahteraannya di masa depan.
Ada dua pendekatan yang lazim diterapkan. Pertama, ambil semua gaji tersebut, lalu dibelanjakan untuk barang dan jasa yang diperlukan, termasuk  membayar tagihan seperti listrik, air, telepon, dan sebagainya. Selanjutnya kalau uang masih bersisa, baru ditabung. Kedua, pola kebalikannya, sisihkan dulu sekian persen sebagai tabungan, baru sisanya digunakan untuk berbagai kebutuhan itu tadi. Mengacu pada kata-kata orang bijak, pola kedua jauh lebih baik dibandingkan pola pertama.
Baiklah, intinya, pasti semua kita sependapat bahwa menabung itu baik dan sangat bermanfaat. Bahkan kebiasaan menabung ini seharusnya sudah dipupuk dari masa anak-anak. Makanya kalau kita sudah terlanjur baru saat bekerja membudayakan menabung, jangan buat kesalahan yang sama pada anak-anak kita. Didik mereka menabung sejak masuk bangku sekolah dasar.
Dan tempat menabung yang paling baik adalah di bank. Untuk anak-anak sekalipun, menabung di bank perlu dibiasakan karena banyak bank yang menyediakan produk tabungan yang dikhususkan bagi anak-anak. Seorang anak bisa menyisihkan uang jajan hariannya, dan baru sebulan sekali menyetor ke bank, atau dijemput pihak bank ke sekolah.
Masalahnya, di negara kita ada banyak sekali bank. Â Ada yang menawarkan suku bunga tabungan yang lebih tinggi dari kebanyakan bank lain. Ada pula yang mengiming-imingi dengan berbagai hadiah yang jor-joran. Ada lagi yang kartu tabungannya berfungsi juga untuk mendapat diskon kalau berbelanja di tempat tertentu.
Tak heran, ada karyawan yang punya rekening gaji di Bank ABC, namun karena bank ini hanya memberikan fasilitas dan bunga yang minim, lalu setiap gajian si karyawan langsung menguras isi rekeningnya dan memindahkannya ke Bank XYZ yang dinilai lebih kinclong. Cara begini sebetulnya sangat logis. Hanya saja perlu berhati-hati, jangan sampai karena ingin untung, malah buntung.
Lho kenapa bisa buntung? Bukankah sepanjang di depan kantor bank dipajang stiker yang berbunyi bahwa bank tersebut peserta program penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), akan aman-aman saja? Bila bank itu bangkrut sekalipun, LPS akan menjamin bahwa tabungan nasabah di bank tersebut akan dibayarkan oleh LPS?
Nah, ini dia masalahnya. Masyarakat perlu tahu, selain bank tempat kita menyimpan dana adalah peserta penjaminan LPS, ada 3 syarat yang harus dipenuhi agar tabungan seseorang (termasuk juga simpanan dalam bentuk deposito, giro, serta produk simpanan berbasis syariah) bisa dikembalikan pada nasabah sekiranya bank tersebut bangkrut.
Syarat pertama, jumlah simpanan di setiap bank maksimal Rp 2 milyar. Bila ada beberapa rekening di bank yang sama, maka akan digabung, bila tidak sampai Rp 2 milyar, akan diganti oleh LPS. Simpanan ini harus tercatat pada sistem pembukuan bank. Padahal, sekarang jarang penabung yang mencetak buku tabungannya. Tidak apa-apa juga asal sering melihat saldonya seperti melalui anjungan tunai mandiri (ATM) atau melalui internet banking.Â
Namun tetap disarankan secara periodik, misal setiap tiga bulan, sebaiknya penabung datang ke bank untuk mencetak transaksi di buku tabungannya, atau kalau tidak disediakan buku, bisa mencetak rekening koran. Masalahnya, di kebanyakan bank, agar tidak membebani sistem pembukuan, transaksi yang terjadi lebih dari enam bulan yang lalu, diakumulasikan menjadi dua kelompok, yakni total mutasi debet (seperti pengambilan, transfer keluar, dan pembebanan biaya bank) dan total mutasi kredit (setoran, transfer masuk, dan imbalan bunga), sehingga penabung tidak bisa melacak setiap transaksi secara rinci.
Okelah, kita anggap  sistem di bank sudah canggih, tidak mungkin ada kekeliruan. Tapi kenyataannya yang namanya human error dan system error tetap ada. Bahkan ada oknum bank yang memang nakal, dan memanfaatkan kedekatannya dengan nasabah tertentu yang lugu atau gampang percaya. Nasabah model begini bisa saja menyetor  ke tabungannya yang "dititipkan" ke si oknum, tanpa dipastikan apakah sudah dibukukan ke rekening tabungannya.
Syarat kedua, tingkat suku bunga simpanan yang diterima nasabah tidak melebihi tingkat bunga penjaminan LPS. Saat ini tingkat bunga penjaminan LPS maksimal sebesar 6,25% per tahun untuk simpanan di bank umum dan 8,75 % di Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Apabila simpanan dalam bentuk valuta asing, tingkat bunga penjaminan adalah 0,75%.
Masalahnya, gak orang kaya atau orang yang biasa-biasa saja, sangat manusiawi bila tergiur dengan bunga tinggi. Nasabah yang berlabel "prioritas" yang mempunyai saldo simpanan minimal Rp 500 juta di sebuah bank biasanya tidak tahan godaan tawaran pihak bank yang tak ingin nasabahnya berpindah ke lain hati. Akhirnya nasabah kelas jumbo begini mendapat apa yang disebut special rate atau nego rate, yang di atas rate penjaminan LPS.
Sedangkan penabung cekak biasanya tidak dapat fasilitas suku bunga spesial, tapi dibombardir dengan iming-iming undian berhadiah. Tawaran ini lazim pula datang dari bank-bank berukuran kecil. Banyak sebetulnya bank-bank kecil yang sehat. Namun terhadap penawaran yang di atas rata-rata bank besar, perlu diwaspadai, apakah tawaran tersebut wajar atau tidak.
Harus diingat, returnberbanding lurus dengan risk. Semakin tinggi imbalan bunga dan hadiah yang diberikan bank kepada nasabah, tentu semakin besar beban yang ditanggung bank, sehingga bila bank salah kalkulasi, atau apa yang diproyeksikan bank dalam rencana bisnisnya tidak terealisir, akan  mendatangkan kerugian bagi bank. Pada gilirannya hal ini menjadi risiko bagi nasabah penyimpan yang menerima bunga di atas tingkat bunga penjaminan LPS.
Syarat ketiga, nasabah tidak melakukan tindakan yang merugikan bank. Apakah ada penabung yang menjadi sumber petaka bagi banknya? Lho kok bisa? Bukannya penabung pasti ingin banknya sehat dan tabungannya kembali? Ya bisa saja ada tabungan yang berkategori pancingan agar menarik penabung lain, padahal di samping menabung ia juga meminjam dari bank tersebut. Apabila pinjaman yang pengembaliannya macet demikian besar, alamat bank bisa gulung tikar.
Bahkan penabung yang merugikan tersebut bisa saja berasal dari pemilik bank, keluarga atau mitra bisnisnya. Memang yang paling mengerikan adalah bila sebuah bank "dirampok" oleh pemiliknya sendiri. Bank adalah bisnis kepercayaan. Penabung percaya uangnya aman di bank, namun oleh pemilik bank yang berintegritas rendah, uang masyarakat bisa dikemplangnya.
Jadi,  sesekali perlu pula dilihat nama-nama pengurus dan pihak yang menjadi pemegang saham bank. Itu semua ada di laporan publikasi triwulanan yang wajib dimuat di media cetak. Laporan ini sebetulnya berisikan laporan neraca dan juga laba-rugi bank, tapi ada banyak laporan tambahan termasuk susunan pengurus dan pemegang saham  bank.
Atau kalau malas membaca koran, laporan dimaksud bisa dibuka di website bank tersebut. Bagi yang mampu membaca laporan keuangan bank, bisa mengamati kondisi bank  dari sisi kekuatan modalnya, rasio kredit macetnya, likuiditasnya, dan sebagainya. Bukankah itu semua buah dari sepak terjang manajemen bank tersebut? Info seperti ini jauh lebih berharga ketimbang membaca iklan bank yang bombastis.
Lebih ideal lagi bila masyarakat mengetahui tingkat kesehatan dari suatu bank. Masalahnya data ini bersifat rahasia, dan hanya wajib dilaporkan bank ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tentu ada maksudnya kenapa dirahasiakan. Bayangkan bila masyarakat mengetahui bank yang lagi kurang sehat, bisa-bisa terjadi antrian panjang di kantor bank tersebut karena para penabung menarik kembali uangnya. Akibatnya bank yang kurang sehat itu, bisa "mati". Padahal kalau tidak ada antrian, mungkin masih bisa diselamatkan, karena otoritas yang berwenang telah mempunyai prosedur penanganan bank yang bermasalah.
Terlepas dari soal kerahasiaan tingkat kesehatan suatu bank, pada dasarnya industri perbankan tergolong aman, karena highly regulated dan harus dikelola secara terbuka. Makanya, baik bank yang telah go public maupun yang belum, wajib mempublikasikan laporan tersebut di atas. Tentu maksudnya agar masyarakat dapat ikut mengawasi. Namun memang laporan tersebut terkesan rumit. Untuk itu masyarakat tidak perlu ragu-ragu bertanya ke pihak LPS, OJK, Bank Indonesia (BI), dan pihak lain yang berkaitan dengan pengawasan terhadap industri perbankan.Â
Ikutilah berbagai akun media sosial dari lembaga yang mengawasi bank. LPS sebagai contoh, ada banyak informasi yang bermanfaat pada website resminya. Antara lain dapat dipelajari berbagai pertanyaan yang sering muncul dan jawabannya. Permasalahan tersebut akan berkembang seiring dengan perkembangan operasional perbankan yang mengikuti perkembangan teknologi.
Sekarang bank beroperasi seperti tanpa batas. Ada agen bank yang menempel di kios-kios sampai ke pelosok. Ada pula yang cukup dilakukan secara digital melalui handphone. Pada akhirnya masyarakat harus senantiasa meningkatkan kecerdasan finansialnya, lebih melek keuangan, dan tidak ketinggalan zaman. Mereka yang memahami pasti tidak mau melakukan kecerobohan seperti sebahagian masyarakat yang terpikat tawaran melakukan investasi bodong pada perusahaan jasa keuangan yang beroperasi tanpa izin.Â
Kesimpulannya, dengan menabung di bank secara konsisten dan memperhatikan persyaratan sesuai ketentuan LPS di atas, kita bisa tidur nyenyak menyongsong masa depan yang cerah. Untuk bersikap cerdas dalam mengelola finansial, tidaklah serumit yang dibayangkan. Tidak hanya pengusaha besar atau pejabat yang mempunyai kecerdasan finansial. Pegawai rendahan atau pedagang kecil pun bisa cerdas, karena sejak kehadiran LPS yang diamanahkan oleh Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004, masyarakat sudah punya sahabat dalam urusannya dengan bank. Ya, LPS memang sahabat nasabah.
Patut dimaklumi, akumulasi tabungan masyarakat di bank, tidak saja bermanfaat bagi diri sendiri dan keluarga, tapi juga untuk pembangunan negara. Pihak bank dapat menyalurkan dana dari simpanan nasabah kepada dunia usaha untuk menggerakkan roda perekonomian. Bahkan bila dana tersebut tidak semua terserap untuk pemberian kredit kepada dunia usaha, bank bisa membeli surat berharga yang diterbitkan pemerintah, yang antara lain bisa dipakai untuk membangun infrastruktur yang sedang digalakkan pemerintahan sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H