Kompasianer Axtea 99 dua hari yang lalu menulis tentang pemenang hadiah Nobel bidang ekonomi tahun ini. Saya tertarik untuk melanjutkan apa yang telah ditulis Axtea 99 sebelumnya, karena pemenang tahun ini, yakni Bengt Holmstrom dan Oliver Simon Hart, terpilih karena teorinya dinilai memberikan sumbangsih penting bagi korporasi dalam merancang kontrak dan insentif yang baik dan bermanfaat besar untuk jangka panjang.
Menarik karena kalau selama ini pemenang Nobel bidang ekonomi kebanyakan diraih oleh ekomom makro yang obyek kajiannya adalah negara, maka kali ini adalah pakar manajemen dengan obyek kajian korporasi. Namun tentu saja pada akhirnya tetap berpengaruh pada negara, karena diyakini bahwa bagus tidaknya perekonomian sebuah negara sangat bergantung pada kinerja di sektor mikro. Bagaimana para pelaku yang berkaitan dengan sebuah korporasi melakukan yang terbaik, bergantung pada komitmennya sebagai karyawan, majikan, pimpinan, konsumen, pemasok, dan lainnya.
Setiap pelaku ekonomi secara lahiriah mempunyai sifat homo economicus atau kerakusan ekonomi. Agar keuntungan yang didapat suatu pihak tidak merugikan pihak yang lain, maka perlu diatur dalam sebuah kontrak dan insentif, yang saling menguntungkan. Itulah yang sebaiknya dilakukan antara konsumen dan produsen, karyawan dan majikan, bank dan nasabahnya, perusahaan asuransi dan pemegang polis, manajemen dengan pemilik perusahan, dan sebagainya. Kondisi itulah yang melatarbelakangi pentingnya teori kontrak dan insentif yang ditawarkan peraih Nobel di atas. Rancangan kontrak yang buruk akan merugikan, dan yang baik akan memberikan manfaat besar.
Teori tersebut sangat mengena dengan keadaan yang terjadi pada berbagai institusi keuangan besar di negara maju. Krisis ekonomi di Amerika Serikat meledak di tahun 2008 karena pencarian untung dengan merekayasa kinerja keuangan, seperti dengan menerbitkan surat utang yang dipoles bagus dan diberi peringkat AAA (artinya aman dari risiko). Perusahaan penerbit surat utang itu ternyata bangkrut, termasuk Lehman Brothers.
Lebih lanjut sebagaimana yang diberitakan Kompas 11 Oktober lalu, krisis tersebut tidak membuat jera atau menghentikan penipuan. Hal ini dipicu oleh pengejaran untung dan bonus besar tanpa ada sanksi dalam kontrak kerja. Di sinilah relevansi teori yang dibuat Holmstrom yang mengatakan bahwa dalam kontrak harus ditekankan bonus berjangka panjang. Kinerja jangka panjanglah yang ikut menentukan kenaikan karier. Kontrak juga dirancang agar eksekutif saksama memikirkan risiko.
Saya tidak akan menulis lebih jauh tentang teori di atas, karena memang belum mempelajarinya secara mendalam. Apa yang sekelumit saya paparkan di atas hanyalah apa yang saya baca dari media masa semata. Tapi apakah berkaitan atau tidak, saya sudah lama mengamati perilaku kinerja keuangan beberapa perusahaan besar di dalam negeri dalam bentuk time series selama beberapa tahun.Â
Kesimpulan sementara saya, yang tentu saja untuk validitasnya memerlukan pengkajian lebih dalam oleh pakarnya, di negara kita pun tidak luput dari pemberian insentif kepada eksekutif perusahaan atas dasar kinerja jangka pendek (tahunan), padahal setelah eksekutif tersebut habis periode jabatannya, para penggantinya hanya menerima "bom waktu" dengan memburuknya kondisi perusahaan.
Fenomena di atas paling gampang kalau dilihat pada industri perbankan, karena bisnis utama bank adalah memberikan pinjaman kepada pihak lain. Ambil contoh untuk level kantor cabang dari sebuah bank. Kepala cabang lazimnya mendapat insentif yang besar bila selama satu tahun berhasil melampaui target dalam memberikan pinjaman kepada nasabahnya. Akibatnya dengan berbagai cara, adakalanya dengan mengorbankan prinsip kehati-hatian (prudential banking), si kepala cabang berhasil melampaui target.Â
Namun beberapa tahun setelah itu ketahuan bahwa nasabahnya banyak yang nakal, sehingga non performing loan (NPL) atau pinjaman yang menunggak pengembaliannya, semakin besar. Inilah bom waktu yang saya maksudkan yang akan menjadi beban kepala cabang berikutnya, sementara si kepala cabang pendahulunya sudah dapat promosi jabatan.
Nah, yang di atas baru merupakan gambaran di level cabang. Bagaimana kalau terjadi di level sebuah bank secara konsolidasi, tentu bank tersebut bisa keropos. Bayangkan, bank-bank papan atas di negara kita, banyak yang mempunyai aset di atas Rp 100 triliun, dengan ratusan, bahkan ribuan kantor yang beroperasi di semua kota di seluruh tanah air. Tentu saja kita berharap hal tersebut tidak pernah terjadi. Namun rasanya tetap perlu diantisipasi, mengingat  insentif bagi top management masih berdasarkan kinerja tahunan yang dipertanggungjawabkan pada forum Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST).
Insentif bagi manajemen puncak tersebut lazim disebut dengan tantiem, yang jumlahnya betul-betul menggiurkan, bisa lebih dari sepuluh kali gaji bulanan. Kerawanan akan muncul di periode akhir kepemimpinan dari board of directors (BOD). Katakanlah periodenya lima tahun, maka di tahun ke 4 dan ke 5, kinerja bank akan digenjot habis-habisan. Misalkan ada nasabah besar yang seharusnya masuk kelompok NPL, dicarikan pembenaran bahwa nasabah tersebut belum NPL.Â
Hanya saja kalau "barang busuk" disembunyikan, akhirnya tercium juga. Kalau itu terjadi, tentu BOD baru akan memasang NPL yang sesungguhnya di tahun pertama periode kepemimpinannya. Namun, bila di tahun ke-4 dan ke-5, mereka melakukan hal yang sama, maka lagu lama terulang kembali. Maka untuk itu, baik di korporasi milik swasta, maupun milik negara, perlu menerapkan teori kontrak dan insentif atas dasar kinerja jangka panjang. Tantiem BOD di tahun terakhir, Â dapat ditangguhkan sampai diyakini tidak ada bom waktu yang ditinggalkannya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H