Sebagai lanjutan dari tiga tulisan saya sebelumnya yang berturut-turut mengangkat perjalanan saya ke Sumatera Barat, kali ini saya menambahkan dengan topik wisata kuliner di Payakumbuh. Kota ini terlihat makin semarak dengan bertumbuhnya banyak rumah makan, restoran, kafe, bopet, dan kios-kios makanan lainnya.
Boleh dikatakan di kota berpenduduk sekitar 150 ribu jiwa itu, selama 24 jam ada saja pedagang makanan yang siap melayani pelanggan. Yang justru meramaikan adalah warga dari kota tetangga dan mereka yang lewat karena kota tersebut berada di jalur utama dan di tengah-tengah antara dua ibukota provinsi, Padang dan Pekanbaru.
Ada pedagang makanan yang beroperasi pada jam "normal" di tempat permanen. Tapi begitu menjelang magrib, bermunculan ratusan warung tenda di pinggir dua jalan utama (Jalan Soekarno-Hatta dan Jalan Ahmad Yani) yang beroperasi sampai subuh. Hawa Payakumbuh yang tidak sedingin Bukittinggi dan tidak sepanas Padang membuat warga luar tertarik. Sebagai catatan, Payakumbuh berada di ketinggian 514 meter di atas permukaan laut.
Apalagi sekarang praktis setiap keluarga punya kendaraan, minimal roda dua, membuat aktivitas makan di luar rumah menjadi gampang. Lagi pula, Payakumbuh adalah kota di Sumbar yang terdekat dari Provinsi Riau, dan orang Riau terkenal punya daya beli tinggi serta sering bermain ke Sumbar di hari Sabtu-Minggu.
Bila dibandingkan antara kondisi siang dan malam, sangat terlihat kuliner malam jauh lebih semarak. Bahkan lebih semarak dibanding kota Padang sekalipun. Sejak beberapa tahun terakhir telah tumbuh pula kafe di tempat permanen dengan konsep modern, interior dan tata lampu yang menarik, menu makanan nasional dan barat, ada televisi layar lebar dan hiburan organ tunggal.
Tapi bagi yang ingin makanan spesifik Sumbar atau Payakumbuh, saya merekomendasikan beberapa pilihan. Ada beberapa tempat yang sudah terkenal sejak saya kecil, lebih dari 40 tahun yang lalu, seperti Rumah Makan Asia Baru, Restoran Minang Asli dan Bopet Sianok.
Bagi yang belum tahu, rumah makan lebih banyak menyediakan nasi dan lauk pauk khas masakan Padang seperti rendang, gulai ayam, dendeng balado, sambal cabe hijau, sayur nangka, dan sebagainya. Restoran adalah tempat untuk makanan alternatif seperti soto, sate, martabak, gado-gado dan minuman jus serta aneka es. Kalau bopet lebih fokus pada makanan ringan seperti aneka kue, bubur kampiun, serabi, kolak, dengan minuman teh atau kopi.
Nah yang relatif baru dan menurut saya unik, adalah makanan serba jagung yang dijual di beberapa tempat di pinggir kota Payakumbuh. Lokasi tepatnya adalah di desa Batuhampar, 9 km dari pusat kota arah ke Bukittinggi. Jagungnya diberi kode F1 (kayak balap mobil yang pernah diikuti Rio Haryanto saja, padahal ini konon kode persilangan bibit jagung unggulan).
Setiap malam, ruang parkir di depan restoran serba jagung tersebut, dipenuhi mobil pengunjung. Ada yang suka jagung rebus biasa. Tapi banyak pula yang membeli kolak jagung, sop jagung, pergedel jagung, serabi jagung, bakwan jagung, kripik jagung, tahu jagung, dan aneka olahan jagung lainnya.
Sekitar 12 km di utara Payakumbuh, ada pula kota kecamatan Dangung-dangung, yang bisa pula disebut sebagai "kampung sate", karena ada beberapa pedagang sate khas Dangung-dangung. Meskipun secara umum mirip Sate Padang lainnya, Sate Dangung-dangung lebih manis bumbunya, dengan bawang goreng yang banyak, serta rebusan daging yang empuk sebelum dipanggang. Memang di pusat kota Payakumbuh juga ada penjual sate ini, tapi lebih enak berburu ke kampung aslinya.
Martabak Mesir juga termasuk punya pelanggan yang banyak di malam hari. Mungkin warga Jakarta lebih mengenalnya sebagai martabak telor atau Martabak Kubang. Nah, Kubang tersebut sebetulnya adalah nama desa di dekat Dangung-dangung. Tapi justru di Kubang tidak terdapat penjual martabak Kubang. Konon awalnya ada perantau asal Kubang di Jakarta yang merintis usaha ini. Tapi kalau ada yang kangen Martabak Mesir atau Kubang, bisa mencarinya di pusat kota Payakumbuh.
Setelah saya telusuri dari berbagai sumber, martabak di atas sebetulnya dulu dibuat oleh orang India yang berdiam di Padang (sampai sekarang masih ada sisa keturunan India di Kampung Keling, Padang). Ada warga yang belajar membuat martabak, mengira orang India tersebut sebagai orang Mesir, dan sejak itu disebut sebagai Martabak Mesir. Khusus Martabak Kubang sedikit dimodifikasi dengan potongan daging yang lebih besar dan diberi bumbu rendang.Â
Begitulah semaraknya kuliner malam di Payakumbuh. Â Di saat warga lokal sendiri telah "berdamai" dengan masakan lain yang terbukti dari banyaknya warung pecel lele, bakso, atau ayam goreng ala franchise dari Amerika Serikat (dulunya orang Minang terkenal fanatik dengan masakan Padang), para wisatawan dari berbagai kota lain sengaja ke Payakumbuh menikmati makanan khas setempat seperti yang diuraikan sebelumnya.
Bila anda lagi menginap di Kota Wisata Bukittinggi, dan bingung untuk mengisi waktu di malam hari (Bukittinggi relatif sepi bila malam tiba), sempatkan menempuh jarak 27 km atau sekitar setengah jam perjalanan ke Kota Payakumbuh untuk menikmati sensasi kuliner malamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H