Meledaknya film AADC 2 segera diikuti oleh My Stupid Boss (MSB). Ternyata sineas muda kita mulai bisa menemukan ramuan film bermutu dan sekaligus laku. Buktinya saya yang baru kemaren menonton, setelah lebih 2 minggu film MSB diputar, menyaksikan bioskop masih dijubeli penonton.
Karena saya relatif terlambat menontonnya, dan saya juga sudah membaca ulasannya dari beberapa kompasianer, maka kali ini saya mencoba menulis dari sisi yang lain. Saya merasa, publik Indonesia punya kesempatan memahami Malaysia dengan menonton MSB. Kebetulan setting ceritanya di Malaysia.
Indonesia dan Malaysia adalah negara serumpun. Makanya, upaya untuk saling memahami, perlu terus dipelihara. Alangkah tidak nyamannya bila hubungan bertetangga terganggu hanya karena salah paham.
Pertama, tentang istilah. Meski Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sama-sama berasal dari Bahasa Melayu, dalam perkembangannya semakin banyak dijumpai perbedaan kosakatanya. Ketika si bos yang orang Indonesia berucap akan mentraktir anak buahnya yang hampir semua orang Malaysia, anak buahnya tidak bereaksi. Barulah setelah si bos bilang free lunch, anak buah bersorak gembira.
Demikian juga istilah lain, seperti kerani untuk karyawan, kereta pejabat untuk mobil dinas, tandas untuk toilet, rumah kebajikan untuk panti asuhan, semua terdengar asing bagi kita. Tapi tolong untuk tidak mengatakan istilah tersebut aneh dan selera berbahasa mereka lebih rendah dari kita. Bagi mereka pun, justru istilah kita yang aneh, padahal kita merasa lebih kreatif.
Demikian pula untuk istilah bagi perusahaan. Mungkin tidak banyak penonton yang memperhatikan papan nama perusahaan si bos, yang di belakang nama perusahaan tertulis Sdn.Bhd. Itu maksudnya adalah Sendirian Berhad, yang kalau di Indonesia disebut PT (Perseroan Terbatas) dan ditulis di depan nama perusahaan.
Catatan berikutnya, di film MSB, kondisi Malaysia tergambar lebih makmur, dan kenyataannya memang mereka jauh lebih makmur dari kita. Sering kamera menyorot monorail yang melayang di sela-sela gedung tinggi, padahal di Jakarta baru dilanjutkan kembali pembangunan jalur monorail setelah terhenti sepuluh tahun.
Namun di negara makmur sekalipun, tetap banyak anak-anak difabel, atau yang berkebutuhan khusus, seperti yang ada di rumah kebajikan di film MSB. Kalau itu adalah kenyataan (film ini katanya berdasarkan kisah nyata), maka pengelolaan anak-anak difabel di Malaysia meski lebih baik dari kita, tapi lokasi dan sarana panti asuhannya terlihat masih sederhana.
Kemudian perlu dicatat bahwa bila di Indonesia ada beragam suku, maka di Malaysia ditopang oleh penduduk keturunan Cina dan India, yang jumlahnya hampir berimbang dengan penduduk bumiputera asli Melayu. Di perusahaan si bos di film MSB hal tersebut tergambar jelas.
Sering pekerja asal Indonesia yang masuk secara illegal tertangkap oleh polisi Malaysia saat razia. Tapi dalam MSB, yang diceritakan adalah ada anak buah si Bos yang orang Bangladesh yang tertangkap. Jadi, sebagai konsekuensi kemakmuran, Malaysia bagaikan gula yang dikerubungi semut-semut. Indonesia adalah penyumbang terbesar semut-semut itu, legal maupun illegal.
Artinya, terlepas dari beberapa aspek negatifnya, Malaysia ikut menjadi katalisator bagi problem pengangguran di negara kita. Sebaliknya, Malaysia tidak akan sepesat ini pembangunan fisiknya bila pekerja dari Indonesia tidak ada. Orang Malaysia sendiri emoh menjadi pekerja kasar, atau mau bila upahnya jauh lebih tinggi.
Film MSB juga mendapat sambutan hangat di Malaysia. Ada untungnya juga, publik Malaysia jadi tahu, orang Indonesia tidak semuanya jadi buruh atau pembantu rumah tangga, tapi ada yang punya perusahaan di Malaysia atau yang jadi pekerja profesional seperti tokoh yang diperankan Alex Abad.
Hanya perilaku si bos yang mencoba menyuap pejabat bea cukai Malaysia untuk memperlancar urusan ekspor impor dari atau ke perusahaannya, bisa menjadi citra negatif. Bisa jadi publik Malaysia beranggapan perilaku suap menyuap sudah lumrah di Indonesia. Padahal....? Tolong pembaca jawab sendiri.
Catatan terakhir saya, yang ini tidak terkait upaya memahami Malaysia, adalah tentang pertanyaan yang menggantung di benak saya, yang sampai sekarang belum terjawab. Sekali lagi, ini katanya dari novel yang ditulis berdasar kisah nyata. Bagaimana bisa orang se-stupid dan sepelit si bos (diperankan dengan amat baik oleh Reza Rahadian), bisa punya perusahaan besar. Satu lagi, orang pelit kok tiba-tiba bisa kepikiran  memperbaiki gedung panti asuhan, sementara atap perusahaannya yang bocor dicuekin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H