Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

LGBT di Sekitar Kita, Bukan Penghambat dalam Bekerja

23 Februari 2016   12:33 Diperbarui: 23 Februari 2016   12:44 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

LGBT, saya tidak ingin menuliskan kepanjangannya, karena berasumsi semua pembaca sudah tahu. Saya sendiri sudah berada pada taraf "muntah" karena saking banyaknya menerima tulisan atau foto di medsos tentang hal ini, dan biasanya info terkait LGBT langsung saya hapus.

Tulisan ini sama sekali tidak berisi opini atas polemik apakah keberadaan LGBT perlu diatur oleh undang-undang atau peraturan lainnya atau dibiarkan mengambang seperti selama ini. Yang jelas LBGT itu, nyatanya ada, meski dalam administrasi kependudukan tidak ada.

Berikut percikan pengalaman saya sejak dari bangku kuliah yang secara tidak langsung ada kaitannya dengan LGBT, meski saat itu istilah LGBT belum umum diketahui. Saya meyakini, disadari atau tidak, di sekitar kita ada saja pelaku LGBT.

Dulu, waktu saya kuliah di Padang di dekade 1980-an, ada teman saya G dan L. Dua-duanya perempuan dan bersahabat secara lengket, dan kebetulan mereka juga satu kamar kos. Si G penampilannya amat tomboy, sedangkan si L penampilannya normal sebagai wanita.

Entah benar atau tidak, isu di kalangan teman-teman sangat kuat bahwa mereka lesbi. Namun setahu saya, si L akhirnya meski di usia yang agak terlambat. Sedangkan si G sampai sekarang belum saya ketahui perkembangannya

Sewaktu saya mulai dapat pekerjaan di sebuah BUMN di Jakarta, ada seorang bapak bernama D yang sangat baik sama saya. Bapak ini pekerja administrasi yang pangkatnya malah di bawah saya yang diterima langsung pada level staf. Sewaktu istirahat,  bahu saya sering dipijitnya. Terasa enak.

Pas saya lagi masuk angin, ia menyarankan saya untuk dikerok. Sesuatu yang tidak lazim bagi saya dan juga kebanyakan orang Minang. Tapi karena ia pintar merayu, saya coba juga. Itulah pengalaman pertama saya dikerok. Lumayan, setelah itu agak baikan.

Nah, suatu kali waktu saya dikerok lagi di musola, saya mengendus cara pak D ini memijat rada gak biasa, agak menjurus daerah sensitif. Saya langsung saja pura-pura ada kerjaan mendesak, dan minta pemijatan sekaligus pengerokan ini diakhiri. Sejak itu saya tidak mau lagi dipijat pak D, meski hubungan secara pribadi tetap baik.

Setelah itu saya lebih teliti mengamati gerak gerik pak D, dan memang  kelihatan agak kemayu. Melambai, kata anak sekarang. Tapi ada beberapa lelaki di kantor saya yang seperti itu, dan tidak bisa serta merta dicurigai sebagai pelaku LGBT. Karena dari kelompok melambai ini sebahagian besar akhirnya menikah, ada yang punya anak, ada yang tidak.

Ada pula yang sampai saat ini, dalam usia di ujung kepala empat atau awal kepala lima, tetap membujang. Nah, yang model beginianlah yang dalam versi cerita burung disinyalir punya orientasi seksual yang berbeda. Tapi karena mereka pintar dan berkinerja baik, karir mereka lancar-lancar saja, dan secara formal tidak ada yang mempersoalkan kenapa dia memilih jadi bujangan. Artinya, kalaupun mereka memang punya kelainan, tidak ada diskriminasi dalam karir.

Anehnya, kalau yang bujangan itu dari kalangan ibu-ibu (mungkin masih gadis, tapi karena berusia setengah baya, tetap dipangil ibu), saya tidak mendengar bisik-bisik aneh tentang kelainan orientasi seksual. Yang diusilin malah analisa kenapa sampai sekarang mereka tidak "laku". Entah kebetulan atau tidak, rata-rata ibu-ibu yang masih sorangan wae tersebut, mohon maaf, tergolong judes. Sama seperti bapak-bapak, tidak ada diskriminasi dalam karir bagi ibu-ibu kelompok ini, karena beberapa   di antaranya berhasil menggapai posisi tinggi.

Akhirnya, ada satu cerita tentang seorang yang sudah punya posisi di kantor tempat saya bekerja. Sebut saya namanya pak R, yang sebetulnya secara penampilan terlihat normal. Apalagi beliau sudah punya dua anak dari seorang istri yang juga eksekutif di sebuah perusahaan.

Awalnya saya tidak percaya ketika ada yang bercerita bahwa pak R adalah pelaku LGBT. Cerita ini makin lama makin bergema, karena banyak anak buah pak R yang laki-laki muda pada tidak betah dan minta dipindahkan ke unit kerja lain. Sopir dan pembantu laki-laki di rumah pak R pun tidak ada yang tahan lama, baru bekerja satu atau dua minggu, langsung minta berhenti.

Pihak perusahaan tidak menggubris masalah yang dianggap domain pribadi tersebut. Makanya karir pak R tetap baik-baik saja. Sampai suatu saat ada korban yang mengirim surat secara resmi pada atasannya pak R, dan meminta manajemen menindak atau memberikan hukuman, karena paling tidak telah menimbulkan keresahan bagi anak buah pak R.

Saya tidak tahu seperti apa proses penyelidikan dari pihak internal auditor, yang jelas akhirnya jabatan pak R dicopot, dan di-non-job-kan. Dugaan saya, pak R dihukum bukan karena perbuatan LGBT-nya (itupun jika terbukti), tapi lebih karena perbuatan "tidak menyenangkan" bagi pihak lain.

Saya yakin, apa yang saya tuliskan adalah kisah yang sangat biasa, yang di manapun sangat mungkin ada. Makanya saya beri judul "LGBT di Sekitar Kita". Maksud saya, diributkan atau tidak, LGBT itu ada sejak dahulu, dan mereka bisa bekerja, bahkan karirnya banyak yang moncreng, tanpa terhambat dengan LGBT-nya.

LGBT jangan hanya dilihat dari mereka yang tampil menor di pinggir jalan saat malam hari. Banyak yang penampilannya biasa saja, wanita biasa atau pria biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun