Mohon tunggu...
Irwan Lalegit
Irwan Lalegit Mohon Tunggu... Konsultan - Nama Lengkap Saya: Irwan Gustaf Lalegit

ADVOKAT, Alumni Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Siapakah Dokter RCL Senduk, Tokoh PMI dan Sumpah Pemuda Itu?

25 Februari 2018   00:30 Diperbarui: 25 Februari 2018   00:43 2306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Suasana Seminar Dr RCL Senduk)

Hari itu Selasa 22 September 2015 (silam), sebuah seminar bertajuk "Sosok dan Perjuangan Tokoh Sumpah Pemuda: DR. Rumondor Cornelis Lefrand Senduk. Pejuang dan Pengabdi Kesehatan" digelar di Museum Sumpah Pemuda di jalan Kramat Raya nomor 106 Kwitang, Senen, Jakarta Pusat.

Seminar tersebut diadakan untuk mengapresiasi, mengenalkan, serta mengingat kembali perjuangan Dokter Rumondor Cornelis Lefrand (RCL) Senduk, salah satu tokoh penting dalam perjuangan revolusi bangsa Indonesia.

Bahwa seminar seperti ini sangat penting untuk selalu digelar karena memang tidak banyak sumber yang menuliskan sosok dan kiprah Dokter RCL Senduk sebagai seseorang yang memiliki peran dalam perjuangan bangsa dan negaranya (Indonesia), sehingga saat itu, Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Harry Widianto, mengharapkan agar kiprah Dokter Senduk sebagai pejuang kesehatan harus diketahui oleh generasi muda, khususnya kepada para anak muda Indonesia saat ini :

"DR Rumondor Cornelis Lefrand Senduk adalah sosok pejuang pengabdi kesehatan, yang hingga kini belum banyak diketahui kiprahnya oleh masyarakat Indonesia sebagai salah seorang pejuang revolusi. Meski bukan dengan senjata, namun DR. Senduk telah menyelamatkan banyak jiwa", papar Harry Widianto, sebagaimana terkutip di laman Kemendikbud (www.kebudayaan.kemdikbud.go.id).

Harry Widianto melanjutkan : "Dalam masa perjuangan, para pejuang tidak hanya bertaruh fisik saja, tetapi juga kesejahteraan, kesehatan, dan kemanusiaan atau palang merah. Hal ini sudah dirintis oleh Dokter Senduk sejak awal saat masa perjuangan".

Tentu, kurang dikenalnya kiprah Dokter RCL Senduk dan terbatasnya informasi mengenai sang tokoh (pada saat ini), juga disadari oleh ahli waris almarhum dengan alasan tersediri.

Paul GRW Senduk, salah seorang putra Dokter Senduk, sebagaimana dikutip laman kemendikbud, pun menuturkan bahwa nama Dokter Senduk tidak banyak diketahui (mungkin) karena beliau tidak meneruskan perjuangannya di politik praktis.

"Beliau hanya fokus pada kemanusiaan dan profesinya sebagai dokter bedah. Beliau memang sering bersinggungan dengan keadaan politik, bahkan sempat diajak bergabung oleh salah satu petinggi yang memiliki posisi strategis, namun ia menolak dan hanya ingin fokus pada profesinya", ujar Oom Paul.

Sedikitnya referensi mengenai sang tokoh kita ini, semoga akan memacu semangat para peminat sejarah atau sejarawan-sejarawati untuk mencari jejak-jejak sejarah para tokoh-tokoh pejuang seperti Doktor RCL Senduk yang hampir dilupakan, dan kemudian menuliskannya menjadi catatan sejarah tokoh, agar paling tidak para generasi muda kedepan mengenal dan mengetahuinya lebih dalam, serta tak hilang dari ingatan sejarah.

(Suasana Seminar Dr RCL Senduk)
(Suasana Seminar Dr RCL Senduk)
Ingatan untuk Sang Tokoh

Saat masih duduk di bangku sekolah lanjutan tingkat pertama lalu di sekolah menengah umum, saya pernah membaca di perpustakaan yang menyimpan buku mengenai Palang Merah Indonesia.

Di buku itu, terdapat nama Dokter RCL Senduk yang disebut bersama Dokter Bahder Djohan di tahun 1932 membuat rancangan pembentukan PMI, dan di tahun 1939 dan 1940 ketika berlangsung konferensi NERKAI (Nederlandsche Roode Kruis Afdeeling Indi) keduanya "lantang" mengusulkan untuk segera membentuk Palang Merah Indonesia, meskipun tentu keduanya menyadari bahwa gagasan mulia mereka tetap akan ditolak oleh pemerintah kolonial Belanda.

Ya, pengabdi kesehatan dan pahlawan kemanusiaan yang barangkali untuk kalangan generasi muda saat ini (hanya) namanya saja dikenal, karena ternyata sosok dan peranannya untuk perjuangan bangsanya (Indonesia) justru kurang dikenal. Bahwa jika ada pertanyaan : "Selain sebagai pelopor berdirinya Palang Merah di Indonesia dan terlibat aktif dalam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 yang mencetuskan "Sumpah Pemuda" lalu apa lagi peranannya? Kebanyakan tak ada yang bisa menjelaskannya.

Nah, pertanyaan seperti inilah yang harus terus menerus digali jawabannya oleh kita semua, agar sosok dan keteladan beliau dalam catatan-catatan sejarah yang tak hanya namanya, akan terus menginspirasi generasi muda masa depan Indonesia.

Catatan Oom Paul menyebut bahwa sang dokter nasionalis ini ternyata kelahiran desa Tataaran, sebuah desa yang dinamis berhawa sejuk di tepi danau Tondano yang indah, yang saat ini menjadi pusat pengemblengan para calon guru untuk kawasan timur Indonesia (kampus Universitas Negeri Manado di Tondano, provinsi Sulawesi Utara).

Lahir pada tahun 1904 sebagai anak dari seorang guru di Minahasa, diberi nama baptis "Rumondor Cornelis Lefrand Senduk" namun akrab dipanggil "Ondo" oleh keluarganya.

Sebagai anak dari seorang guru, tentu membuat "Ondo" mendapatkan pendidikan yang bagus (di jamannya) dan didikan yang baik dari keluarganya. Karena itulah--juga dengan semangat serta ketekunan belajarnya, dia dipilih oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk melanjutkan studi ke sekolah pendidikan dokter Hindia-STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) di Batavia (kini Jakarta).

Namun, sembari menempuh pendidikannya di STOVIA, dia juga memperluas persahabatan dengan para pemuda-pelajar dari berbagai daerah di Batavia, bergaul, bergiat dan lalu berperan penting dalam pergerakan nasional yang banyak digeluti mahasiswa-mahasiswi STOVIA pada waktu itu. Bahkan menjadi pelaku utama dari kongres pemuda kedua yang menghasilkan "Sumpah Pemuda" pada 27 - 28 Oktober 1928, peristiwa sejarah yang menjadi tonggak utama pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Bersama para pemuda-pelajar nasionalis, ia (mewakili Jong Celebes) berikrar dan menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia Merdeka dengan mengaku : "Satu Tumpah Darah-Tanah Indonesia, Berbangsa Satu-Bangsa Indonesia, dan Menjunjung Bahasa Persatuan-Bahasa Indonesia".

Karena keikutsertaannya dalam aktivitas-aktivitas politik untuk menyuarakan kemerdekaan Indonesia, maka setelah lulus STOVIA, dia tidak diperkenankan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bekerja di rumah-rumah sakit, yang tentu saja (pada saat itu) semuanya milik (atau dikuasasi oleh) pemerintah. Ia kemudian berpraktek sebagai dokter gigi di Sukabumi (praktek yang sudah dilakukannya selagi masih belajar di STOVIA) dimana ia menetap dengan keluarganya, dan lalu di tahun 1937 pindah lagi ke Batavia, setelah diperbolehkan bekerja sebagai ahli bedah di rumah sakit CBZ (sekarang rumah sakit Cipto Mangunkusumo).

Saat pecah perang dunia kedua, ia mengirim keluarganya untuk kembali ke Minahasa, tanah kelahirannya, namun ia sendiri tidak menyertai keluarganya, dan baru tiba tahun 1942 di Minahasa bersama-sama dengan tentara pendudukan Jepang, menjadi dokter tentara.

Sebagai dokter tentara Jepang (dokter Palang Merah), ia dipercayakan mengepalai rumah sakit Marienheuvel (sekarang rumah sakit Gunung Maria) di Tomohon, Sulut, lalu di tahun 1944 dipindahkan ke Tondano untuk mengepalai rumah sakit Tondano (sekarang RSUD Dr Sam Ratulangi Tondano), serta bertanggungjawab atas kesehatan para interniran militer dan sipil asal Belanda di kamp-kamp tawanan di sekitar Manado.

Setelah kekalahan Jepang dalam perang dunia kedua dan seiring pendudukan pasukan Sekutu diboncengi tentara NICA-Belanda (Netherlands-Indies Civil Administration, organisasi semi militer Belanda yang dibentuk pada 3 April 1944 dan bertugas mengembalikan pemerintahan sipil dan hukum pemerintah kolonial Hindia Belanda) di Indonesia, ia yang dulu dikenal sebagai aktivis pergerakan nasional kemudian ditangkap Belanda dan di bawa ke Papua atas dakwaan (juga) terlibat peristiwa heroik Merah Putih 14 Februari 1946 di Manado (Minahasa).

Ia lalu diserahkan oleh militer Belanda ke pengadilan penjahat-penjahat perang Jepang di Brisbane (Australia) untuk diadili, namun dibebaskan atas kesaksian yang meringankan dari bekas tawanan yang diinternir Jepang di Manado dan Tomohon yang menyebut bahwa ia bertanggungjawab atas kesehatan bekas tawanan itu. Hal ini serupa pendapat Harry Kawilarang (wartawan perang senior yang pernah bekerja di Harian Suara Pembaruan) pada seminar bertajuk "Sosok dan Perjuangan Tokoh Sumpah Pemuda: DR. Rumondor Cornelis Lefrand Senduk. Pejuang dan Pengabdi Kesehatan" yang digelar oleh Museum Sumpah Pemuda pada Selasa (22/9/2015) silam.

Menurut Harry Kawilarang, sebagai dikutip oleh laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (www.kebudayaan.kemdikbud.go.id), Dokter Senduk (Harry Kawilarang menyebutnya sebagai Dokter Rumondor) adalah seorang "Soldier of Fortune", yakni pada suatu peristiwa penangkapan penjahat perang, beliau sempat tertangkap dengan tuduhan sebagai pembunuh, namun beliau diselamatkan dengan kesaksian banyak serdadu Belanda yang bersaksi bahwa Dokter Rumondor bukanlah seorang pembunuh, tapi penyembuh dan penyelamat banyak orang (tentu termasuk tahanan-tahanan Jepang pada saat itu), Dokter Rumondor pun akhirnya dibebaskan.

Setelah kembali ke Indonesia, di tahun 1948 Dokter Senduk bersama Doktor G S S J Sam Ratulangi (Gubernur Sulawesi) di tangkap di Makassar oleh pemerintah pendudukan NICA-Belanda, yang mengakibatkan Doktor Sam Ratulangi kemudian di 'buang' ke Serui (Papua).

Barangkali agar tak lagi mempengaruhi tokoh-tokoh pergerakan di Minahasa, Dokter Senduk pun tidak diperbolehkan oleh NICA-Belanda untuk menetap di Minahasa. Ia dan keluarganya pun sempat pindah ke Kalimantan Timur (Tanjung Selor kemudian Balikpapan), dimana ia tetap melakukan profesinya sebagai dokter bedah.

Tahun 1950 bertemu keluarganya saat ia tiba di Makassar bersama-sama dengan pasukan TNI, sebagai dokter tentara dengan pangkat Letnan Kolonel (tituler). Ia ikut bertugas sebagai dokter tentara ketika TNI menumpas gerakan RMS di Maluku, kemudian ia menetap lagi di Jakarta dan berdinas di rumah sakit tentara (sekarang rumah sakit Gatot Subroto) sebagai perwira di dinas kesehatan TNI angkatan darat.

Dari Jakarta, ia pindah ke Palembang sampai pensiun di tahun 1958 dan terus mengemban tugasnya sebagai dokter ahli bedah. Dokter Senduk wafat di Malaysia pada bulan Desember 1961 dan dimakamkan di Telok Anson (Malaysia).

Bahwa beberapa catatan diatas untuk mengenang tokoh kita ini, semoga kedepan bisa terus bertambah lagi dengan munculnya catatan-catatan dari pemerhati sejarah atau bagi yang mau membagi referensinya. Semoga.

*Referensi :

  • "Partisipasi Jong Celebes Dalam Kongres Pemuda Ke II (Dampak dan Pengaruhnya Pada Angkatan dan Generasi Berikutnya", handout Paul GRW Senduk, anak dari Dokter RCL Senduk pada Seminar Sosok dan Perjuangan Tokoh Sumpah Pemuda DR RCL Senduk, di Museum Nasional Jakarta, 22 September 2015.
  • Berita : "Museum Sumpah Pemuda Gelar Seminar Tokoh DR. Rumondor Cornelis Lefrand Senduk" dari laman  
  • Sumber-sumber lainnya dari google.com
  • Fotofoto : Dokumen

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun