Di buku itu, terdapat nama Dokter RCL Senduk yang disebut bersama Dokter Bahder Djohan di tahun 1932 membuat rancangan pembentukan PMI, dan di tahun 1939 dan 1940 ketika berlangsung konferensi NERKAI (Nederlandsche Roode Kruis Afdeeling Indi) keduanya "lantang" mengusulkan untuk segera membentuk Palang Merah Indonesia, meskipun tentu keduanya menyadari bahwa gagasan mulia mereka tetap akan ditolak oleh pemerintah kolonial Belanda.
Ya, pengabdi kesehatan dan pahlawan kemanusiaan yang barangkali untuk kalangan generasi muda saat ini (hanya) namanya saja dikenal, karena ternyata sosok dan peranannya untuk perjuangan bangsanya (Indonesia) justru kurang dikenal. Bahwa jika ada pertanyaan : "Selain sebagai pelopor berdirinya Palang Merah di Indonesia dan terlibat aktif dalam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 yang mencetuskan "Sumpah Pemuda" lalu apa lagi peranannya? Kebanyakan tak ada yang bisa menjelaskannya.
Nah, pertanyaan seperti inilah yang harus terus menerus digali jawabannya oleh kita semua, agar sosok dan keteladan beliau dalam catatan-catatan sejarah yang tak hanya namanya, akan terus menginspirasi generasi muda masa depan Indonesia.
Catatan Oom Paul menyebut bahwa sang dokter nasionalis ini ternyata kelahiran desa Tataaran, sebuah desa yang dinamis berhawa sejuk di tepi danau Tondano yang indah, yang saat ini menjadi pusat pengemblengan para calon guru untuk kawasan timur Indonesia (kampus Universitas Negeri Manado di Tondano, provinsi Sulawesi Utara).
Lahir pada tahun 1904 sebagai anak dari seorang guru di Minahasa, diberi nama baptis "Rumondor Cornelis Lefrand Senduk" namun akrab dipanggil "Ondo" oleh keluarganya.
Sebagai anak dari seorang guru, tentu membuat "Ondo" mendapatkan pendidikan yang bagus (di jamannya) dan didikan yang baik dari keluarganya. Karena itulah--juga dengan semangat serta ketekunan belajarnya, dia dipilih oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk melanjutkan studi ke sekolah pendidikan dokter Hindia-STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) di Batavia (kini Jakarta).
Namun, sembari menempuh pendidikannya di STOVIA, dia juga memperluas persahabatan dengan para pemuda-pelajar dari berbagai daerah di Batavia, bergaul, bergiat dan lalu berperan penting dalam pergerakan nasional yang banyak digeluti mahasiswa-mahasiswi STOVIA pada waktu itu. Bahkan menjadi pelaku utama dari kongres pemuda kedua yang menghasilkan "Sumpah Pemuda" pada 27 - 28 Oktober 1928, peristiwa sejarah yang menjadi tonggak utama pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Bersama para pemuda-pelajar nasionalis, ia (mewakili Jong Celebes) berikrar dan menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia Merdeka dengan mengaku : "Satu Tumpah Darah-Tanah Indonesia, Berbangsa Satu-Bangsa Indonesia, dan Menjunjung Bahasa Persatuan-Bahasa Indonesia".
Karena keikutsertaannya dalam aktivitas-aktivitas politik untuk menyuarakan kemerdekaan Indonesia, maka setelah lulus STOVIA, dia tidak diperkenankan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bekerja di rumah-rumah sakit, yang tentu saja (pada saat itu) semuanya milik (atau dikuasasi oleh) pemerintah. Ia kemudian berpraktek sebagai dokter gigi di Sukabumi (praktek yang sudah dilakukannya selagi masih belajar di STOVIA) dimana ia menetap dengan keluarganya, dan lalu di tahun 1937 pindah lagi ke Batavia, setelah diperbolehkan bekerja sebagai ahli bedah di rumah sakit CBZ (sekarang rumah sakit Cipto Mangunkusumo).
Saat pecah perang dunia kedua, ia mengirim keluarganya untuk kembali ke Minahasa, tanah kelahirannya, namun ia sendiri tidak menyertai keluarganya, dan baru tiba tahun 1942 di Minahasa bersama-sama dengan tentara pendudukan Jepang, menjadi dokter tentara.
Sebagai dokter tentara Jepang (dokter Palang Merah), ia dipercayakan mengepalai rumah sakit Marienheuvel (sekarang rumah sakit Gunung Maria) di Tomohon, Sulut, lalu di tahun 1944 dipindahkan ke Tondano untuk mengepalai rumah sakit Tondano (sekarang RSUD Dr Sam Ratulangi Tondano), serta bertanggungjawab atas kesehatan para interniran militer dan sipil asal Belanda di kamp-kamp tawanan di sekitar Manado.