Mohon tunggu...
Irwan Lalegit
Irwan Lalegit Mohon Tunggu... Konsultan - Nama Lengkap Saya: Irwan Gustaf Lalegit

ADVOKAT, Alumni Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Impian (Menjadi) Negara Maritim

8 Februari 2016   04:24 Diperbarui: 7 Mei 2020   10:56 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Nelayan Tradisional di Kepulauan Talaud. Dokpri"][/caption]

“…Tiba-tiba ku tertegun, lubuk hatiku tersentuh,

Perahu kecil terayun, nelayan tua di sana,

Tiga malam bulan tlah menghilang,

Langit sepi walau tak bermega…”

 

Penggalan lirik lagu “Burung Camar” yang dipopulerkan Vina Panduwinata (diva pop musik) diatas mengambarkan betapa kerasnya kehidupan nelayan Indonesia, dan menyadarkan kita bahwa laut Indonesia yang maha luas dan kaya potensi itu, tentu menjadi tantangan terberat bagi para nelayan yang selama ini (tujuh puluh tahun merdeka) terus dibiarkan kalah bersaing dengan nelayan negara tetangga di kawasan ASEAN-Pasifik dalam penguasaan laut, pengelolaan kekayaan sektor kelautan dan perikanan.

Berlawanan dengan nelayan kita yang kebanyakan mungkin nasibnya miskin dan tradisional, mereka (nelayan negara tetangga) dilengkapi armada tangkap ikan terbaik, sarana-prasarana pendukung yang berkualitas minim korupsi, kemudahan perijinan dan akses modal usaha, serta kecangihan teknologi kelautan telah lama menjarah kekayaan laut kita. Karena menyadari potensi kelautan sebagai peluang masa depan, maka dengan dukungan penuh pemerintahnya, mereka jauh-jauh hari telah memodernisasi infrastruktur kelautan. Tak heran bila kebanyakan kapal-kapal penangkap ikan yang beroperasi di perairan dan zona ekonomi eksklusif kita berasal dari Vietnam, Filipina, Papua Nugini, Taiwan, China, Korea, Jepang, Thailand, Malaysia, Singapura, Australia, India, yang justru banyak dari anak buah kapalnya (buruh nelayan) dari Indonesia.

Selain kalah dalam penguasaan laut dan pengelolaan sektor kelautan dan perikanan, sejumlah data penelitian menunjukan bahwa ternyata peringkat konsumsi ikan serta produk olahan hasil perikanan kita sangat rendah bila dibanding negara-negara se ASEAN. Para peneliti keamanan pangan pun menjumpai sampel ikan di pasar, swalayan, restoran, atau rumah makan “sea food” di kota-kota besar yang dijual berformalin-berpengawet-berpewarna makanan. Adanya fenomena zat-zat berbahaya seperti itu mengindikasikan bahwa sektor perikanan dan kelautan kita sudah sedemikian parah dan perlu pembenahan.

Berkaca pada kenyataan diatas, semakin menegaskan bahwa kita makin kehilangan jati diri sebagai bangsa pelaut ulung, karena kita pun telah melemah dalam diplomasi laut, dan pernah kalah telak mempertahankan pulau Sipadan dan Ligitan.

Sehingga kalau ternyata negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia ini dijuluki negara pengimpor ikan, tentu yang harus disalahkan adalah pemerintah. Bahwa ada yang salah dalam kebijakan pemerintah dalam mengelola sektor kelautan kita selama ini. Tapi mengutuk ketidakberpihaknya penentu kebijakan dan terus meratapi mirisnya kehidupan nelayan, tentu bukan tindakan yang bijaksana.

Kita harus bangkit!

Masih segar dalam ingatan kita tentang penuh harapnya dunia kelautan dan perikanan Indonesia kepada sosok Indroyono Soesilo. Setelah terpilih sebagai Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman, dia disebut-sebut oleh banyak pemerhati kelautan dan perikanan sebagai menteri yang kapabel untuk mewujudkan tekad Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla: “Mewujudkan Indonesia Poros Maritim Dunia”.

Mengingat pengalamannya sebagai pakar Kelautan dan Perikanan, serta pernah bekerja di badan urusan pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), Indroyono Susilo dianggap sangat menguasai betul masalah kemaritiman Indonesia dan diharapkan memiliki jurus ampuh untuk membenahi sektor kelautan dan perikanan Indonesia. Namun sungguh sangat disayangkan, tak sampai setahun penantian kita atas ide-ide cemerlang dan tindakan konkretnya untuk mewujudkan mimpi besar Presiden Joko Widodo (terutama mengentaskan masalah kemiskinan nelayan, akses permodalan, peningkatan kualitas SDM, modernisasi teknologi, akses pemasaran, perbaikan dan penambahan infrastruktur, dan lain-lain), ia justru didepak di 12 Agustus 2015 lalu, diganti dengan Rizal Ramli.

Ya, Rizal Ramli. Setelah dilantik menjadi Menko Kemaritiman, "Sang Penerobos" itu selalu ditunggu wujud nyata ide-idenya yang tepat sasaran untuk kepentingan nelayan dan pembangunan sektor kemaritiman nasional. Rasa-rasanya kita makin serius berharap kepada menteri yang satu ini untuk berfokus menjawab impian besar bangsa bahari ini.

Impian besar bangsa bahari ini pernah disambung oleh lidahnya Bung Karno. Pada tahun 1953, sang penyambung lidah rakyat itu pernah berpesan agar kita (Indonesia) harus kembali menjadi bangsa pelaut ulung. Kata Bung Karno, “Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawala samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri”.

Saat ini kita melihat, pesan bapak bangsa diatas dibaca juga oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sehingga ketika kali pertama berpidato sebagai Presiden, isinya mencerminkan apa yang dikehendaki oleh Bung Karno. Jokowi bilang, “…..kita harus bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim….”.

Tentu saja mengembalikan kembali ode kejayaan Indonesia sebagai negara maritim bukanlah pekerjaan yang semudah membalikan telapak tangan, karena mewujudkan visi-misi “Jalesveva Jayamahe” tanpa berusaha membangun serta bekerja keras, ibarat pepatah “pungguk merindukan bulan”. Misalnya, mustahil tercapai jika illegal fishing dan penyeludupan marak terjadi di depan mata para nelayan kita, sedangkan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) masih lemah dari segi jumlah armada dan alutsista tempur lautnya, yang terbatas dan ketinggalan jaman. Setali tiga uang dengan TNI AL, Polisi Perairan (Polair), instansi ini pun kekurangan armada juga alutsista dan teknologi polisional.

Ada pula Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang menyebut dirinya “Penjaga Laut (coast guard)-nya” Indonesia. Lembaga pemerintah non kementerian yang dibentuk sesuai amanat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Keamanan Laut, dan Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2014 tentang Bakamla, diharapkan menjadi lembaga professional dan dipercaya oleh dunia maritim nasional dan internasional dalam menghadapi dinamika keamanan di laut, namun terbatasnya Alat Utama Sistem Keamanan Laut (Alutsiskamla) menjadi kendala bagi Bakamla untuk mengamankan, menjaga, mengawasi, dan penegakan hukum di perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia.

Selain lembaga-lembaga diatas, aktivitas penangkapan ikan pun terkendala bahan bakar minyak (BBM). Depo Pertamina sebagai pusat pengisian BBM keperluan melaut bagi nelayan kita--terutama untuk menekan biaya operasional di pulau-pulau terdepan (misalnya Kepulauan Talaud di Provinsi Sulawesi Utara dan Kepulauan Natuna di Provinsi Kepulauan Riau) hingga hari ini masih jadi harapan. Akibat kekurangan pasokan BBM, maka beban tarif transportasi laut antar pulau pun dibebankan kepada masyarakat. Mobilitas barang pun terkendala dan menjadikan ekonomi berbiaya tinggi di perbatasan dan daerah kepulauan karena mereka menjadi mainan pelaku usaha perkapalan swasta dengan tarif jasa angkutan yang mencekik pedapatan warga kepulauan.

Karena itulah, kehadiran Rizal Ramli sebagai Menko Kemaritiman dan Sumber Daya diharapkan dapat memupus kesenjangan pendapatan dan mengentaskan kemiskinan akibat tekanan hidup yang sangat berat bagi masyarakat di pulau-pulau terdepan dan daerah perbatasan. Kita selama ini geram karena realita selama bernegara di negeri kepulauan terbesar ini, justru infrastruktur kelautan dan perikanan abai difasilitasi, dibenahi, ditambah, ditingkatkan oleh pemerintah, yang malah konsentrasinya terlalu sibuk mengurusi kegaduhan politik dan bagi-bagi kekuasaan.

Kini dan esok apa?

Sudah waktunya negeri ini berkonsentrasi penuh mengejar ketertinggalan di sektor kemaritiman nasional. Bahwa pemerintah memang membutuhkan dukungan politik, anggaran yang besar untuk membenahi dan mengelola itu semua. Tapi harus diingat, dukungan dan dana yang besar untuk mewujudkan “Indonesia Poros Matirim Dunia” janganlah di korupsi lagi oleh aparatur negara.

Jangan lagi ada kerjasama pemufakatan jahat antara aparat pemerintah dengan mafia kelautan dan perikanan. Jangan lagi Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan memberi ijin keleluasaan beroperasinya kapal-kapal penangkap ikan dari luar negeri, jangan dibiarkan lagi korporasi asing merajalela mengeksploitasi kekayaan laut kita.

Dan ayo, format kembali sekolah-sekolah pelayaran, kampus-kampus maritim atau benahi pendidikan pelaut yang selama ini lulusan terbesarnya disiapkan untuk memenuhi kebutuhan perwira dan awak kapal-kapal niaga dari luar negeri karena sebenarnya hal ini jauh-jauh hari telah diingatkan oleh lidahnya Bung Karno sebagai: “jangan menjadi ‘jongos-jongos’ di kapal niaga milik pemodal asing”.

Usahakanlah untuk memperbanyak sekolah nelayan, kursus atau pelatihan-pelatihan bagi nelayan, serta dukung dan berdayakanlah nelayan tradisional yang selama ini terbiar, terlantar, terpinggirkan, tak berdaya, agar menjadi kekuatan baru dunia kemaritiman Indonesia sebagai nelayan-nelayan andalan, sebagai pelaut-pelaut ulung pewaris sejarah “cakrawati samudera”, seperti kata Ibu Sud (Saridjah Niung): “Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudra, menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa, angin bertiup layar terkembang, ombak berdebur di tepi pantai, pemuda b’rani bangkit sekarang, ke laut kita beramai-ramai”.

Lagu pembangkit rasa nasionalisme sebagai bangsa bahari diatas tentu saja harus diikuti dengan memperkuat industri kemaritiman, mengembangkan armada kelautan, memutus nafsu impor dengan memperbanyak aktivitas ekspor dan memberdayakan nelayan. Ya, “Nenek moyangku orang pelaut”, tak hanya menjadi lagu sindiran bagi kita semua, tapi juga sebuah impian (menjadi)-kan Indonesia negara maritim kelas dunia, berharap terwujud!

 

Penulis: Irwan Lalegit, Anggota DPP Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)

 

Foto/by: Nelayan Tradisional di Kepulauan Talaud/Irwan Lalegit

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun