Mohon tunggu...
Irwan Lalegit
Irwan Lalegit Mohon Tunggu... Konsultan - Nama Lengkap Saya: Irwan Gustaf Lalegit

ADVOKAT, Alumni Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Impian (Menjadi) Negara Maritim

8 Februari 2016   04:24 Diperbarui: 7 Mei 2020   10:56 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita harus bangkit!

Masih segar dalam ingatan kita tentang penuh harapnya dunia kelautan dan perikanan Indonesia kepada sosok Indroyono Soesilo. Setelah terpilih sebagai Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman, dia disebut-sebut oleh banyak pemerhati kelautan dan perikanan sebagai menteri yang kapabel untuk mewujudkan tekad Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla: “Mewujudkan Indonesia Poros Maritim Dunia”.

Mengingat pengalamannya sebagai pakar Kelautan dan Perikanan, serta pernah bekerja di badan urusan pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), Indroyono Susilo dianggap sangat menguasai betul masalah kemaritiman Indonesia dan diharapkan memiliki jurus ampuh untuk membenahi sektor kelautan dan perikanan Indonesia. Namun sungguh sangat disayangkan, tak sampai setahun penantian kita atas ide-ide cemerlang dan tindakan konkretnya untuk mewujudkan mimpi besar Presiden Joko Widodo (terutama mengentaskan masalah kemiskinan nelayan, akses permodalan, peningkatan kualitas SDM, modernisasi teknologi, akses pemasaran, perbaikan dan penambahan infrastruktur, dan lain-lain), ia justru didepak di 12 Agustus 2015 lalu, diganti dengan Rizal Ramli.

Ya, Rizal Ramli. Setelah dilantik menjadi Menko Kemaritiman, "Sang Penerobos" itu selalu ditunggu wujud nyata ide-idenya yang tepat sasaran untuk kepentingan nelayan dan pembangunan sektor kemaritiman nasional. Rasa-rasanya kita makin serius berharap kepada menteri yang satu ini untuk berfokus menjawab impian besar bangsa bahari ini.

Impian besar bangsa bahari ini pernah disambung oleh lidahnya Bung Karno. Pada tahun 1953, sang penyambung lidah rakyat itu pernah berpesan agar kita (Indonesia) harus kembali menjadi bangsa pelaut ulung. Kata Bung Karno, “Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawala samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri”.

Saat ini kita melihat, pesan bapak bangsa diatas dibaca juga oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sehingga ketika kali pertama berpidato sebagai Presiden, isinya mencerminkan apa yang dikehendaki oleh Bung Karno. Jokowi bilang, “…..kita harus bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim….”.

Tentu saja mengembalikan kembali ode kejayaan Indonesia sebagai negara maritim bukanlah pekerjaan yang semudah membalikan telapak tangan, karena mewujudkan visi-misi “Jalesveva Jayamahe” tanpa berusaha membangun serta bekerja keras, ibarat pepatah “pungguk merindukan bulan”. Misalnya, mustahil tercapai jika illegal fishing dan penyeludupan marak terjadi di depan mata para nelayan kita, sedangkan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) masih lemah dari segi jumlah armada dan alutsista tempur lautnya, yang terbatas dan ketinggalan jaman. Setali tiga uang dengan TNI AL, Polisi Perairan (Polair), instansi ini pun kekurangan armada juga alutsista dan teknologi polisional.

Ada pula Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang menyebut dirinya “Penjaga Laut (coast guard)-nya” Indonesia. Lembaga pemerintah non kementerian yang dibentuk sesuai amanat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Keamanan Laut, dan Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2014 tentang Bakamla, diharapkan menjadi lembaga professional dan dipercaya oleh dunia maritim nasional dan internasional dalam menghadapi dinamika keamanan di laut, namun terbatasnya Alat Utama Sistem Keamanan Laut (Alutsiskamla) menjadi kendala bagi Bakamla untuk mengamankan, menjaga, mengawasi, dan penegakan hukum di perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia.

Selain lembaga-lembaga diatas, aktivitas penangkapan ikan pun terkendala bahan bakar minyak (BBM). Depo Pertamina sebagai pusat pengisian BBM keperluan melaut bagi nelayan kita--terutama untuk menekan biaya operasional di pulau-pulau terdepan (misalnya Kepulauan Talaud di Provinsi Sulawesi Utara dan Kepulauan Natuna di Provinsi Kepulauan Riau) hingga hari ini masih jadi harapan. Akibat kekurangan pasokan BBM, maka beban tarif transportasi laut antar pulau pun dibebankan kepada masyarakat. Mobilitas barang pun terkendala dan menjadikan ekonomi berbiaya tinggi di perbatasan dan daerah kepulauan karena mereka menjadi mainan pelaku usaha perkapalan swasta dengan tarif jasa angkutan yang mencekik pedapatan warga kepulauan.

Karena itulah, kehadiran Rizal Ramli sebagai Menko Kemaritiman dan Sumber Daya diharapkan dapat memupus kesenjangan pendapatan dan mengentaskan kemiskinan akibat tekanan hidup yang sangat berat bagi masyarakat di pulau-pulau terdepan dan daerah perbatasan. Kita selama ini geram karena realita selama bernegara di negeri kepulauan terbesar ini, justru infrastruktur kelautan dan perikanan abai difasilitasi, dibenahi, ditambah, ditingkatkan oleh pemerintah, yang malah konsentrasinya terlalu sibuk mengurusi kegaduhan politik dan bagi-bagi kekuasaan.

Kini dan esok apa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun