Mohon tunggu...
Irwan Japaruddin
Irwan Japaruddin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Life Long Leraning

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Analisis dan Catatan Kritis Kebijakan Penanganan ATS di Sulbar

20 November 2023   20:34 Diperbarui: 20 November 2023   21:02 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) mengguncang sekaligus memprihatinkan bagi semua elemen di Provinsi Sulawesi Barat. Betapa tidak, 48 ribu  anak mengalami  putus sekolah atau 10,52 persen di Sulbar. Tentu ini tidak bisa hanya dilihat dengan pendekatan kuantitatif semata, apalagi jika kita serius bicara masa depan Sulbar di masa yang akan datang. Ketika kepemimpinan akan dilanjutkan dengan anak muda, sulit rasanya merasionalisasikan bahwa ada harapan yang lebih baik akan dibawah  jika tidak ada investasi untuk membangun kualiatas anak muda sejak dini.

Dikutip dari antara.com pada tahun 2023 Pemprov Sulbar melalui Satgas Penanganan Anak Tidak Sekolah (ATS) yang di ketuai langsung  oleh Kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Mithar, M.Pd   berhasil menurunkan ATS 3.724 periode bulan Mei-Agustus.  Tentu kinerja  ini patut diapresiasi ditengah banyaknya persoalan kinerja birokrasi di Sulbar. Namun masih ada catatan dalam penanganan ATS yang harus dikerjakan secara kolektif dan komprehensif oleh Pemrov Sulbar. Ini yang akan secara singkat akan dibahas dalam tulisan ini. Untuk mengulas lebih lanjut, kita bisa menggunakan beberapa pertanyaan sederhana. Kenapa ATS bisa terjadi?, apa saja  penyebab ATS?, bagaimana penanganan ATS?, dan siapa saja yang bertanggung dalam penyelesaian ATS?

Penyebab ATS dan APS    

Anak Tidak Sekolah (ATS) dan Anak Putus Sekolah (APS) adalah dua hal yang berbeda ATS merupakan kondisi dimana anak tidak dapat mengakses pendidikan ketika memasuki umur 4-5 tahun untuk tingkat PAUD sampai umur 7 tahun untuk memasuki Sekolah Dasar (SD). Sedangkan APS merupakan peserta didik yang tidak mampu menyelesaikan proses belajarnya pada jenjang tertentu. Walaupun keduanya mempunyai karakteristik penyebab yang mirip.

Dalam riset (Utami dan Rosyid, 2020) setidaknya ada dua faktor penyebab anak tidak sekolah yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi beberapa kondisi; pertama motivasi, rendahnya motivasi baik saat akan  memasuki usia sekolah maupun dalam penyelesaian sekolah menjadi penyebab anak ATS maupun APS sebab motivasi dalam konteks belajar merupakan daya penggerak tentu setiap anak mempunyai motivasi berbeda-beda. Kedua penyakit anak, dalam kondisi penyakit tertentu, anak sulit dalam proses sekolah sehingga menjadi penyebab ATS maupun APS. Ketiga kerkebutuhan khusus, anak yang mempunyai keterbatasan khusus (disabilitas) sangat rentang menjadi ATS maupun APS, hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya respon sosial terhadap anak yang mempunyai keterbatasan khusus.

Kedua faktor eksternal, meliputi beberapa kondisi ini. Faktor ini  harus menjadi perhatian serius karena menjadi faktor dominan terjadinya ATS maupun APS terhadap anak; pertama kondisi ekonomi, ini meliputi pemenuhan kebutuhan dasar anak dalam setiap jenjang sekolah seperti seragam, buku dan biaya pendidikan lainnya. Kedua kondisi sekolah, keterbatasan sarana dan prasarana menyebabkan ketidaknyaman anak dalam proses pendidikan, ketiga lingkungan tempat tinggal, anak berpotensi akan memilih sekolah ketika berada dilingkungan yang suasananya mendukung untuk belajar. Sedangkan ada anak memilih langsung bekerja dalam kondisi lingkungan tertentu seperti daerah industri. Keempat keterkaitan emosional, kemampuan pedagogi seorang guru sangat penting karena  menyangkut kenyaman, kemampuan memahami, menyenangkan peserta didik dalam proses belajar. Keterkaitan emosional guru dan peserta didik juga berguna membantu pertumbuhan dan perkembangan efektif peserta didik, itu sebabnya jika sekolah menjadi tempat tertekan peserta didik melalui guru maka ada potensi akan terjadi APS maupun ATS. Kelima pendidikan orang tua, orang tua yang mempunyai latar belakang pendidikan  yang kurang baik ada kecenderungan mempunyai kesadaran yang tidak signifikan  untuk mendorong anaknya untuk sekolah maupun melanjutkan sekolah. Keenam permasalahan keluarga, perceraian  kedua orang tua berdampak pada dukungan keluarga untuk keberlangsungan pendidikan seorang anak.

Penyebab ATS maupun APS pada riset diatas mempunyai kemiripan karakteristik yang terjadi di Sulbar. Hal ini dikonfirmasi melalui pernyataan PJ. Gubernur Sulbar, Prof. Zudan melaui media antaranews.com Sabtu, 8 Juli 2023 bahwa penyebab ATS di Sulbar disebabkan karena faktor pola pikir masyarakat terhadap pendidikan, ketidak mampuan ekonomi masyarakat, dan minimnya dukungan anggaran pemerintah. Tentu untuk faktor lainnya membutuhkan penelitian lebih lanjut.  

Bagaimana penanganan ATS dan APS

Penyebab ATS maupun APS yang telah dipaparkan diatas secara ringkas memiliki faktor yang komprehensif itulah sebabnya membutuhkan kerja serius dan kolektif dalam penyelesaiannya. Oleh karena itu penyelesaiannya bukan tindakan sporadis, sebab ini bukan hanya bicara soal mendaftarkan  kembali anak masuk ke sekolah formal maupun non formal tapi ini merupakan keseriusan Pemprov membangun Sulbar dengan mempersiapkan anak mudanya yang memiliki kapasitas dan kapabilitas di masa yang akan datang.

Dalam teori analisis kebijakan publik Huttman (1981), dan Gilbert dan Specht (1986) memandang bahwa kebijakan sosial dapat dilihat dalam tiga dimensi, yaitu; kebijakan sosial sebagai proses (process), sebagai (produc) dan sebagai kinerja atau capaian (performance). Kebijakan sosial sebagai proses merujuk pada argumentasi perumusan atau perancangan kebijakan terkait dengan variabel sosial politik dan teknik metodologis. Tahapan ini membuat rencana tindakan (plan of action) dimulai dengan mengidentifikasi kebutuhan (assesing need), alternatif tindakan, strategi kebijakan, sampai perumusan evaluasi terhadap impelementasi kebijakan.

Dalam konteks  penanganan 48 ribu anak ATS dan APS di Sulbar dalam perancangan kebijakan harus jelas argumentasinya atau berbasis ilmu pengetahuan melalui riset (saintifik) sebab ini yang sering kali menjadi masalah dalam birokrasi  di Sulbar sebab logika pengambilan kebijakan selalu terbalik. Harusnya proses perumusan suatu kebijakan di mulai dengan basis riset untuk merekam persoalan  secara komprehensif  baru kemudian memutuskan bagaimana keinginan birokrasi dalam memutuskan suatu kebijakan yang akan diputuskan. Bukan malah sebaliknya, keinginan birokrasi dulu baru dilakukan improvisasi ilmu pengetahuan  untuk melegitimasi keputusan tersebut. Sehingga tidak jarang terjadi masalahnya  apa, kebijakan  apa. Atau sedikit humornya, sakit perut tapi yang diberikan adalah obat sakit kepala. Maka menjadi sangat penting dalam penanganan ATS dan APS diskursus akademik dengan melibatkan para pakar dan pihak terkait dalam proses perumusan rancangan kebijakan yang akan ditetapkan. Diskursus akademik yang dimaksudkan bisa melalui Forum Group Discussion (FGD), seminar, dialog publik atau penelitian melalui kerja sama kampus seperti Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar), atau Lembaga masyarakat yang mempunyai kredibilitas dalam persoalan tersebut.

Kemudian  kebijakan sosial sebagai produk perupakan hasil kongkrit dari proses perumusan kebijakan atau perencanaan sosial. Produk kebijakan yang dimaksud dapat berupa proposal, peraturan atau pedoman rencana kegiatan (standing plan) untuk penyelesaian persoalan tersebut. Dalam konteks penyelesaian ATS dan APS di Sulbar maka Pemprov harus segera melakukan proses penyusunan kebijakan secara komprehensif sebagai tahap awal kemudian dari hasil tersebut harus ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur (Pergub), Keputusan Gubernur, Pedoman Pengentasan ATS dan APS dan produk kebijakannya lainya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara subtansi produk tersebut harus menjadi aturan (rules) yang memuat penyelesaian ATS dan APS di Sulbar secara sistematis.

Terakhir kebijakan sebagai  kinerja (performance), hal ini meliputi secara deskriftif atau evaluasi terhadap implementasi suatu produk kebijakan yang telah ditetapkan atau diputuskan. Kebijakan sosial yang telah ditetapkan harus dapat diukur bagaimana dampak atau pengaruhnya terhadap persoalan yang hendak diselesaikan, dalam hal ini pengentasan angka ATS dan APS di Sulbar. Ini juga sering kali menjadi persoalan  dalam tubuh Pemprov Sulbar  sebab tidak ada evaluasi secara serius dan mendalam terhadap kinerja birokrasi. Sehingga seringkali satu permasalahan terus terulang dan hampir tidak ada satu inovasi dalam menyelesaikan  persoalan tersebut.             

Jika tiga tahapan  proses penyusunan dalam penentuan kebijakan dilakukan dengan baik maka penulis meyakini bahwa penyelesaian ATS dan APS di Sulbar secara terencana dan sistematis bisa dilakukan sampai akar masalahnya. Sebab semua pihak akan bisa melihat dan tahu akar masalahnya apa, yang akan dikerjakan apa saja dan siapa saja yang akan terlibat. Sebab, penulis meyakini dengan argumentasi singkat diatas dengan melihat penyebab ATS dan APS hampir tidak mungkin masalah ini bisa dituntaskan oleh satu OPD saja apalagi satu orang, harus ada kolaborasi semua pihak.         

 Siapa yang bertanggung jawab dalam pengentasan ATS dan APS 

Kekeliruan kita selama ini dalam melihat kasus ATS dan APS hanya dipandang sebagai persoalan pendidikan formal. Sehingga yang terus dibicarakan adalah bagaimana cara mendaftarkan kembali anak ke sekolah yang mengalami APS atau ketika masalahnya adalah  anak ATS maka yang dipikirkan bagaimana caranya agar anak tersebut dapat diakomodir melalui Paket A, B dan C. Saya kira ini adalah paradigma yang keliru dalam melihat persoalan ATS dan APS. Apa yang dilakukan oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sulbar sekaligus Ketua Satgas penanganan ATS Sulbar, Dr. Mithar tetap harus diapresiasi tetapi persoalan ini membutuhkan pengkajian yang lebih mendalam sehingga persoalan ATS dan APS selesai sampai pada akar masalahnya. Melihat dari argumentasi singkat penyebab terjadinya ATS dan APS yang telah dipaparkan diatas, maka sangat penting kita memilah penyebabnya apa dan  yang akan mengerjakan siapa.

Dalam konstitusi Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 28 C ayat (1) tentang hak untuk mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan, Pasal 28 E ayat (1)  berbicara tentang hak untuk memilih pendidikan dan pengajaran, kemudian pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Jadi jawaban pertama siapa yang bertanggung jawab paling pertama dalam menyeleasaikan persoalan ATS dan APS adalah negara dalam hal ini pemerintah. Maka tidak salah ketika kita menyebut Pemprov Sulbar  sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. 

Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 7, 8 dan 10 bahwa orang tua dan masyarakat mempunyai peran dalam melaksanakan proses pendidikan. Jadi pertanyaan berikutnya siapa yang bertanggung jawab dalam penyelesaian ATS dan APS jawabannya adalah pemerintah, orang tua dan masyarakat. Maka dalam konteks penuntasan persoalan ATS dan APS di Sulbar yang bertanggung jawab adalah Pemprov Sulbar, enam Perkab di Sulbar, semua orang tua di Sulbar dan semua masyarakat Sulbar.  

Dalam konteks karakteristik faktor penyebab persoalan ATS dan APS di Sulbar  yang telah dipaparkan secara singkat diatas, bagaimana dan siapa yang bertanggung jawab  mengerjakan dan menyelesaikan persoalan tersebut.

1. Faktor Internal

a. Rendahnya motivasi

 Ketika penyebab Anak Tidak Sekolah (ATS) Atau Anak Putus Sekolah (APS) karena rendahnya motivasi, secara teoritik hal ini bisa disebabkan karena persoalan keluarga, lingkungan dan guru. Jika keluarga dalam hal ini orang tua penyebab rendahnya motivasi anak, maka menjadi pertanyaan siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan koreksi terhadap keluarga tersebut. Maka kita akan bicara soal pencegahan pernikahan dini sehingga ada kematangan dan kedewasaan dalam pembentukan keluarga dimasa yang akan datang. Sebab pernikahan dini mengakibatkan anak merawat anak. Jika rendahnya motivasi  disebabkan oleh lingkungan, maka kita akan bicara bahwa lingkungan dibentuk oleh masyarakat dan pembentukan masyarakat kualitasnya sangat dipengaruhi oleh proses kebudayaan. Jalan terakhir yang bisa menjadi harapan untuk solusi ketika rendahnya motivasi anak sekolah adalah sekolah. Sekolah harus bisa menjadi benteng terakhir dalam membangkitkan masa depan anak apapun masalah keluarga dan lingkungannya. Oleh sebab itu, sekolah harus memastikan ekosistem yang berkualitas dalam tumbuh kembang anak. Intervensi pembangunan sekolah yang  berkualitas motor penggerak utamanya harusnya leading sektornya adalah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sehingga ketika anak ATS maupun APS memasuki lingkungan sekolah persoalan motivasi bisa terlesesaikan.

b. Penyakit

Aristoteles pernah mengatakan pikiran yang cerdas tidak akan bisa menyatu dengan raga yang sakit-sakitan, maka menjadi penting ada pencegahan melalui memastikan  bahwa setiap anak tumbuh dengan kualitas makanan dan lingkungan yang baik. Sehingga meminimalisir resiko terserang penyakit se minimal mungkin. Misalnya stunting, Sulbar diurutan kedua terbesar se-nasional, secara teoritik stunting beresiko mengakibatkan lambatnya perkembangan otak, keterbelakangan mental, rendahnya kemampuan belajar, dan resiko serangan penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi dan obesitas. Maka siapa yang bertanggung jawab menyelesaikan masalah stunting, harus diselesaikan untuk meminimalisir potensi ATS maupun APS terjadi di masa yang akan datang. Sebab jika hanya bicara soal mendaftarkan anak kembali ke sekolah formal atau non formal tidak terlalu membutuhkan waktu yang lama bisa diselesaikan tapi 5-7 tahun lagi anak ATS dan APS yang kembali muncul akibat stunting tidak diselesaikan.

c. Berkebutuhan khusus

 Anak yang memiliki kebutuhan khusus (disabilitas) resiko terjadi ATS maupun APS sangat besar,  sebab bisa diakibatkan minimnya dukungan orang tua, ketersediaan sarana dan prasarana yang masih terbatas dan jumlah guru khusus masih terbatas. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 memberi amanat pemerintah wajib menyelenggarakan dan memfasilitasi pendidikan anak disibilitas di semua jenjang. Selanjutnya diatur dalam Perpres Nomor 13 Tahun 2020 tentang akomodasi yang layak untuk menyandang disabilitas untuk mendapatkan pendidikan inklusif. Oleh karena itu anak yang berkebutuhan khusus membutuhkan perhatian yang lebih serius. Maka penting Pemrov Sulbar memastikan ketersediaan infrasktruktur sekolah bagi anak penyandang kebutuhan khusus.

2. Faktor Eksternal.

a. Faktor ekonomi

Persoalan ekonomi menjadi faktor signifikan penyebab anak ATS maupun APS, walaupun tidak menjadi faktor tunggal. Ini menyangkut kebutusan dasar anak dalam pendidikan (basic needs) seperti baju seragam, buku, kebutuhan sehari-hari dan  biaya tak terduga dalam sekolah. Walaupun memang persoalan ekonomi keluarga tidak menjadi faktor tunggal tetapi ketidakstabilan ekonomi keluarga menjadi ancaman yang besar terjadinya ATS maupun APS. Bahkan tidak jarang kita menyaksikan anak lebih memilih untuk berhenti sekolah untuk  membantu ekonomi keluarga. Lalu kita akan bertanya, siapa yang akan bertanggung jawab dalam memastikan ekonomi setiap  keluarga membaik. Apa yang dilakukan oleh Pemprov Sulbar melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan penyediaan angggaran untuk anak ATS maupun ATS patut diapresiasi. Tetapi untuk memastikan hal tersebut tidak terjadi lagi maka harusnya akar masalah dituntaskan melalui mengentasan kemiskinan. Sebab kemiskinan bukan hanya menyebabkan ATS maupun APS tapi berpengaruh pada kualiatas tumbuh kembangnya seorang anak.

b.  Kondisi sekolah

 Iklim yang kurang kondusif dalam proses belajar mengajar tidak jarang menjadi alasan anak putus sekolah.  Kondisi infrastruktur sekolah seperti gedung, ruang kelas, sangat mempengaruhi partisipasi motivasi anak dalam sekolah. Faktor ini harus dipastikan oleh pihak terkait dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sulbar untuk tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA)  dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengh Pertama (SMP). Sebab akan begitu miris jika karena kondisi sekolah menjadi penyebab terjadi ATS maupun ATS. Maka Pemrov dan Pemda harus memastikan ketersediaan infrastruktur setiap sekolah sesuai dengan standar.

c. Lingkungan tempat tinggal

Yang bertanggung jawab dengan pembentukan lingkungan yang  baik untuk ramah anak adalah keluarga dalam hal ini orang tua dan masyarakat. Kemudian siapa yang bertanggung jawab untuk membangun satu keluarga dan masyarakat yang bisa membentuk lingkungan ramah anak dan baik untuk tumbuh kembangnya. Bahkan tidak sedikit kita memjumpai satu lingkungan yang menganggap bahwa pendidikan itu tidak penting dan hanya buang-buang waktu. Itulah sebabnya, persoalan ini tidak bisa diselesaikan dalam waktu 1-2 tahun tapi adalah proyek jangka panjang yang harus dipikirkan dan diusahakan oleh semua pihak terutama pemerintah. Tentu kita berharap melalui pendidikan  proyek perbaikan peradaban di Sulbar bisa diperbaiki dan dibangun melalui pembangunan kebudayaan.

d. Keterkaitan emosional

Penting kompetensi pedagogi harus dimiliki oleh semua guru pada jenjang tingkatan. Sebab kemampuan guru sangat mempengaruhi kenyamanan anak dalam proses belajar-mengajar. Kemampuan membangun emosinal guru dengan anak sangat penting, sebab bila gagal ada potensi sekolah menjadi beban bagi setiap anak. Padahal sekolah diproyeksikan tempat membangun, mengasa diri, membangun skill, menggali potensi itulah.  Oleh karena itu, sekolah harus menjadi rumah ternyaman kedua dari keluarga. Maka penting untuk semua jenjang sekolah terus meningkatkan  kompetensi guru sehingga faktor ini tidak muncul menjadi penyebab terjadinya ATS maupun APS.

e. Pendidikan orang tua

 Dalam teori pendidikan pada umumnya, keluarga dalam hal ini  orang tua adalah pembentuk pertumbuhan dan perkembangan anak, termasuk perkembangan pola pikir dan kecerdasan anak. Maka kemampuan parenting orang tua menjadi sangat penting karena sangat mempengaruhi perkembangan kecerdasan anak. Menurut (Mustrofin, 2009) sebagian besar orang tua dengan tingkat pendidikan tamatan SD mempengaruhi tingkat kesadaran partisipasi pentingnya pendidikan untuk anak, termasuk persepsi anak terhadap pendidikan juga dipengaruhi tingkat pendidikan orang tua. Itulah sebabnya tingkat pendidikan orang tua menjadi salah satu faktor terjadinya ATS maupun APS bagi anak. Lalu menjadi pertanyaan siapa yang bertanggung jawab untuk membangun satu keluarga agar mempunyai kemampuan dalam mendidik anak. Maka diantara jawabannya cegah pernikahan dini.

Oleh sebab itu, penulis melihat harus ada koreksi terhadap perumusan kebijakan Pemprov Sulbar dalam penyelesaian persoalan ATS maupun APS. Sebab masalah ATS dan APS adalah persoalan sistemik maka kebijakan harus diputuskan untuk menyelesaikan harus sistematis pula. Sebab resiko terburuknya adalah masa depan pembangunan Sulbar ketika tidak mempunyai anak muda dengan kompetensi unggul. Sejalan dengan pesan Presiden ketiga Republik Indonesia Prof. Dr.Ing. Dr. Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf Habibie bahwa "Kualitas sumber daya manusia adalah kunci keberhasilan masa depan bangsa dan SDM yang unggul dan berdaya saing akan mengantar Indonesia sejajar bangsa lain disegani"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun