Ketika  Joko Widodo-Jusuf Kalla menyempatkan minum jamu (pinggiran) seusai pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Soebroto, Jakarta, (Kompas, Kamis, 22/5), terbesit di pikiran saya, apakah tim dokter yang memeriksa tidak serta-merta menasihatkan agar mereka tidak diperbolehkan lagi jajan sembarangan, baik makanan maupun minuman tanpa prosedur sanitari protokoler? Betul sih, Jokowi merakyat, tetapi sebagai gubernur (cuti) dan calon presiden ke depan, siapa yang peduli?
Di satu sisi, Jokowi memang beda dengan Prabowo. Menurut hemat saya, Prabowo belum pernah mengonsumsi sesuatu sembarangan, apalagi minum jamu pinggir jalan. Jokowi santer dengan bakso kesukaannya, warteg pinggiran kalau beliau lapar tentunya. Memang, perbedaan ini tidak bisa pula kita buat sebagai ukuran layak tidaknya sebagai presiden. Justru sebaliknya, Jokowi yang  jajan makanan dan minuman sembarangan bisa saja membuatnya sakit perut (mungkin karena makanannya kepedasan). Lalu, jika karena itu diare, semakin kurus (dari yang sudah kurus), sistem pilpres terganggu sehingga, niscaya, kita akan kena imbasnya. Kita tidak serta-merta ikut sakit perut sih, tetapi kita akan kehilangan figur pemimpin yang selalu siap blusukan melihat masalah rakyatnya.
Jika Jokowi kurus bukan karena kurang makan atau Prabowo, tentu, gemuk bukan karena kelebihan makan, sebagai kandidat pemimpin bangsa ini, keduanya harus menjaga kesehatan. Tim pemeriksa kesehatan (pencapres-cawapresan) pun harus terlibat memberi peringatan: apabila mereka ternyata sakit (setelah pemeriksaan) sebelum pilpres nanti, mereka akan tetap mendapat ganjaran dengan julukan "Pemimpin yang Pesakitan".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H