Bangsa kita memang Anarkis. Bahkan setelah kemerdekaan, Anarkisme masih mengilhami gerakan banyak Ormas, Organisasi Kepemudaan, dan Organisasi Kemahasiswaan.
Pemberontakan DII/TII, PKI, dan Westerling adalah upaya perlawanan terhadap kekuasaan pemerintah yang sah. Berikutnya ada pula konfrontasi rakyat-pemerintah melalui gerakan PRRI dan Permesta serta Gerakan Separatis beberapa daerah untuk menentang otoritas pemerintah.
Puncaknya, Anarkisme begitu berjaya pada akhir periode kelam Orde Baru. Mahasiswa bersama rakyat bahu membahu menjatuhkan Soeharto yang otoriter. Efeknya luar biasa, Soeharto kalah dan meletakkan jabatannya pada 21 Mei 1998. Kemenangan Mahasiswa dan Rakyat ini juga adalah kemenangan anarkisme.
Anarkisme, Dibenci dan Dicintai
Begitulah, anarkisme mempunyai tempat istimewa dalam ruang histori bangsa ini. Dia dibenci juga dicintai persis Si Pitung, Robinhood Betawi. Dia akan selalu diagungkan oleh Mahasiswa yang mengaku revolusioner, Dia dianggap virus oleh pemerintah yang korup dan menggunakan sepatu mengkilap untuk menginjak kepala rakyat.
Beberapa demonstran bahkan menganggap chaos dan dipukul oleh polisi adalah sebuah kebanggaan. Ada tetesan darah yang tak mampu dihitung sebagai balas jasa atas perjuangan para pendahulu untuk sebuah pekik 'Merdeka!". Itulah Anarkisme, upaya "keras" melawan penindasan manusia atas manusia meskipun yang dilawan adalah pemerintah yang berdaulat.
Evolusi Anarkisme
Periode anarkisme kontemporer masih terus berjalan dalam senyap. Kini, anarkisme ber-evolusi. Jika dulu dia digunakan untuk mewujudkan kesetaraan sosial tanpa homogenitas kekuasaan, sekarang anarkisme didaulat menjadi jalan terbaik untuk mencapai suatu tujuan meskipun bukan untuk kesejahteraan komulatif.
Segala bentuk kekerasan dihalalkan sehingga anarkisme mengalami peyorasi menjadi sebuah paham menakutkan dan berbahaya, baik oleh pemerintah maupun oleh rakyat jelata.
Dua Presiden setelah Soeharto di-pelorot-kan dari kursinya dengan skema yang hampir sama. Habibi yang naik takhta dipaksa turun lagi oleh demonstrasi. Gus Dur pun begitu. Sebuah gerakan besar dari gabungan mahasiswa menghasilkan keputusan pemakzulan. Megawati, jika seorang lelaki, mungkin juga akan diperlakukan demikian, hahaha.
Sidang DPR, Kongres Ormas dan OKP, Pilkada, bahkan pemilihan ketua kelas seringkali diwarnai oleh merah darah atau putih tulang. Aksi lempar kursi, pecah kaca, lempar-melempar, kejar-mengejar, pukul-memukul disebut sebagai dinamika proses pendewasaan. Wajar, kan?Â