"Terkadang cinta hanya dapat berbicara melalui selongsong senapan"
Pernyataan Buenaventura Durruti Dumange ini agaknya mampu menjadi awalan yang segar untuk memulai alenia demi alenia sejarah panjang perjalanan Bangsa kita dalam menikmati, kehilangan, lalu mendapatkan lagi sebuah kemerdekaan.
Melalui lorong-lorong dunia maya kita yang dipenuhi berita kekerasan (meskipun beberapa dalihnya adalah keadilan sosial), kita menjadi terbiasa dengan fenomena pertumpahan darah (baca: Anarkis) antara rakyat-penguasa, penguasa-penguasa, atau rakyat-rakyat.
Sebut saja yang paling kekinian, terjadi kerusuhan pada kongres sebuah Partai Politik besar di Indonesia. "Secara keseluruhan ini masih dalam konteks yang relatif normal dan demokrasi. Tetapi tidak terjadi pada partai kami saja, namun di organisasi lain juga sudah ada. Bahkan dalam organisasi massa, kepemudaan, sering terjadi permasalahan, jadi tidak hanya partai kami saja yang terjadi keributan seperti ini," begitulah kira-kira penjelasan santai Sang Ketua Panitia Kongres kepada wartawan.
Pada praktiknya, filsafat politik yang diperkenalkan oleh Gerard Winstanley (1648) dan William Godwin (1793) ini telah terjadi di Indonesia sejak tahun 1220-an, Setengah abad sebelumnya. Adalah Ken Arok, Raja Singasari yang terkenal itu didapuk menjadi seorang anarkis pertama yang diteruskan anarkis-anarkis berikutnya.
Dalam Kitab Pararaton Ken Arok diceritakan membunuh Tunggul Ametung, Akuwu Tumapel untuk naik takhta menjadi Akuwu dan memperistri Ken Dedes, istri Tunggul Ametung. Pembunuhan itu melahirkan sebuah kerajaan besar bernama Singasari. Pembunuhan itu pula yang menyebabkan pembunuhan-pembunuhan lain setelahnya.
Meskipun motif pembunuhan Tunggul Ametung secara filosofis tidak sepenuhnya sama dengan pandangan anarkisme, paling tidak itu adalah bentuk perlawanan rakyat kepada penguasa.
Anarkisme = Kemerdekaan
Anarkisme secara etimologis diartikan sebagai paham "tanpa pemerintahan" atau "pengelolaan dan koordinasi tanpa hubungan memerintah dan diperintah, menguasai dan dikuasai, mengepalai dan dikepalai, mengendalikan dan dikendalikan, dan lain sebagainya.
Pada masa Kolonial Belanda maupun Jepang, anarkisme semakin menancapkan kukunya pada pola perjuangan rakyat untuk terbebas dari monopoli kekuasaan dan kesewenang-wenangan penjajah. Kemerdekaan tentu tidak diraih melalui meja-meja perundingan melainkan melalui pertumpahan darah para pejuang diujung senapan penjajah dan kematian penjajah diujung bambu-tombak pejuang.
Sebut saja Perang Batavia (1628), Perang Jawa (1741), Perang Diponegoro (1825), Serangan 10 November 1945, dan Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah rentetan perang besar dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan yang masih melekat pada memori anak bangsa.
Bangsa kita memang Anarkis. Bahkan setelah kemerdekaan, Anarkisme masih mengilhami gerakan banyak Ormas, Organisasi Kepemudaan, dan Organisasi Kemahasiswaan.
Pemberontakan DII/TII, PKI, dan Westerling adalah upaya perlawanan terhadap kekuasaan pemerintah yang sah. Berikutnya ada pula konfrontasi rakyat-pemerintah melalui gerakan PRRI dan Permesta serta Gerakan Separatis beberapa daerah untuk menentang otoritas pemerintah.
Puncaknya, Anarkisme begitu berjaya pada akhir periode kelam Orde Baru. Mahasiswa bersama rakyat bahu membahu menjatuhkan Soeharto yang otoriter. Efeknya luar biasa, Soeharto kalah dan meletakkan jabatannya pada 21 Mei 1998. Kemenangan Mahasiswa dan Rakyat ini juga adalah kemenangan anarkisme.
Anarkisme, Dibenci dan Dicintai
Begitulah, anarkisme mempunyai tempat istimewa dalam ruang histori bangsa ini. Dia dibenci juga dicintai persis Si Pitung, Robinhood Betawi. Dia akan selalu diagungkan oleh Mahasiswa yang mengaku revolusioner, Dia dianggap virus oleh pemerintah yang korup dan menggunakan sepatu mengkilap untuk menginjak kepala rakyat.
Beberapa demonstran bahkan menganggap chaos dan dipukul oleh polisi adalah sebuah kebanggaan. Ada tetesan darah yang tak mampu dihitung sebagai balas jasa atas perjuangan para pendahulu untuk sebuah pekik 'Merdeka!". Itulah Anarkisme, upaya "keras" melawan penindasan manusia atas manusia meskipun yang dilawan adalah pemerintah yang berdaulat.
Evolusi Anarkisme
Periode anarkisme kontemporer masih terus berjalan dalam senyap. Kini, anarkisme ber-evolusi. Jika dulu dia digunakan untuk mewujudkan kesetaraan sosial tanpa homogenitas kekuasaan, sekarang anarkisme didaulat menjadi jalan terbaik untuk mencapai suatu tujuan meskipun bukan untuk kesejahteraan komulatif.
Segala bentuk kekerasan dihalalkan sehingga anarkisme mengalami peyorasi menjadi sebuah paham menakutkan dan berbahaya, baik oleh pemerintah maupun oleh rakyat jelata.
Dua Presiden setelah Soeharto di-pelorot-kan dari kursinya dengan skema yang hampir sama. Habibi yang naik takhta dipaksa turun lagi oleh demonstrasi. Gus Dur pun begitu. Sebuah gerakan besar dari gabungan mahasiswa menghasilkan keputusan pemakzulan. Megawati, jika seorang lelaki, mungkin juga akan diperlakukan demikian, hahaha.
Sidang DPR, Kongres Ormas dan OKP, Pilkada, bahkan pemilihan ketua kelas seringkali diwarnai oleh merah darah atau putih tulang. Aksi lempar kursi, pecah kaca, lempar-melempar, kejar-mengejar, pukul-memukul disebut sebagai dinamika proses pendewasaan. Wajar, kan?Â
Masyarakat sudah biasa dengan pemandangan itu. Toh kita telah anarkis dan bangga dengan ke-anarkis-an kita dari dulu!
*Penulis Adalah Mantan Pengurus PKC PMII Provinsi Jambi dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Jambi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI