Saya Irwandi, seorang mahasiswa prodi Komunikasi dan penyiaran Islam STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh. Sebagai seorang anak yang terlahir dari keluarga yang biasa-biasa saja, melangkahkan kaki di STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, tidak pernah terlintas di pikiran bahwa perjalanan ini akan menjadi lika-liku penuh misteri.
Sebagai mahasiswa semester lima, saya kerap dihadapkan pada pertanyaan besar tentang siapa sebenarnya diri saya. Seakan berada di persimpangan dua dunia, satu sisi dunia akademik yang penuh idealisme, disisi lain dunia pekerjaan yang keras namun menjanjikan kebebasan.
Di ruang kuliah, saya dihadapkan dengan beberapa mata kuliah yang mengajarkan keahlian seperti jurnalistik, desain grafis, dan komunikasi. Semuanya terasa seperti kepingan puzzle yang belum menemukan tempatnya. Setiap mata kuliah hadir seperti tantangan yang menuntut untuk dipecahkan, semakin saya mencoba memahami teori-teori ini, semakin saya merasa ada kekosongan yang sulit dijelaskan.
Jujur saja, kuliah ini bukan sepenuhnya keinginan saya. Itu adalah impian keluarga. harapan besar mereka agar saya bisa melangkah lebih jauh dalam pendidikan dibandingkan mereka. Ayah, ibu, dan kakak-kakak saya hanya mampu menyelesaikan pendidikan hingga jenjang yang lebih rendah, dan saya adalah harapan mereka untuk mengubah kisah keluarga kami. Namun, di balik tanggung jawab ini, saya sering bertarung dengan kegelisahan yang sulit saya ungkapkan.
Sehari-harinya usai jam perkuliahan, saya mengisi waktu dengan bekerja di warung kopi Gampong Lapang, Meulaboh. Di tempat ini, hidup terasa lebih nyata dibandingkan teori-teori yang dipelajari di kelas. Warung kopi bukan hanya soal melayani pelanggan; ini adalah tempat dimana saya belajar langsung bagaimana membangun relasi, melakukan negosiasi, dan yang lebih penting, memahami seluk-beluk bisnis dari pemilik warung, Bang Ikhsan.
Bang Ikhsan merupakan sosok sederhana yang memiliki visi tajam dalam dunia usaha. Dengan kerja kerasnya, ia berhasil mengembangkan warung kopi ini menjadi salah satu yang paling ramai di Lapang. Setiap hari, saya mengamati bagaimana ia mengelola usahanya-mulai dari menghitung stok hingga menjaga komunikasi dengan pelanggan. Dari sini, saya belajar bahwa bisnis bukan hanya soal uang, melainkan keberanian untuk menghadapi resiko dan memanfaatkan peluang.
Pekerjaan ini memberikan pelajaran untuk menanamkan  mimpi baru dalam diri saya: menjadi seorang pengusaha. Bukan demi kekayaan, tetapi demi kebebasan. Kebebasan untuk tidak bekerja di bawah arahan orang lain, kebebasan untuk mengontrol hidup saya sepenuhnya.
Namun, perjalanan mencari jati diri ini jauh dari kata mudah. Saya masih terombang-ambing di antara dua tujuan besar: menyelesaikan pendidikan sebagai bukti kepada keluarga bahwa saya mampu, atau menekuni dunia bisnis yang menggugah hati saya. Dunia akademik menawarkan teori-teori yang membangun pemahaman intelektual, sementara dunia bisnis mengajarkan saya keberanian untuk bertindak dan mengambil keputusan nyata.
Di tengah perjalanan ini, kegelisahan selalu mengintai. Apakah saya mampu menjembatani kedua dunia ini? Ataukah saya akan terjebak dalam kebingungan tanpa akhir, tanpa pernah menemukan siapa diri saya yang sesungguhnya?
Satu hal yang perlahan saya pahami adalah pentingnya menyeimbangkan antara teori dan praktik. Dalam perkuliahan, saya belajar konsep dan strategi komunikasi, sementara di warung kopi, saya mempraktikkannya langsung dengan pelanggan. Meski tampak bertolak belakang, saya meyakini bahwa keduanya memiliki keterkaitan yang erat dan menjadi bagian dari perjalanan panjang yang harus saya tempuh untuk menemukan jati diri.
Seperti kata Monkey D Luffy dalam anime One Piece (anime favorit), "Jika jalan yang kamu tempuh terlalu mudah, berarti kamu berada di jalan yang salah." Kalimat ini terus terngiang di kepala saya, menjadi pengingat bahwa kesulitan adalah bagian dari proses menuju sesuatu yang lebih besar. Kuliah mungkin belum memberikan jawaban yang saya cari, tetapi ia memberi saya alat untuk terus mencari.
Kini, di penghujung semester lima dan menjelang semester enam, masa depan masih tampak kabur. Namun, satu hal yang pasti: saya tidak akan berhenti. Melalui teori di bangku kuliah, pengalaman nyata di warung kopi, dan bahkan kegagalan-kegagalan yang saya alami, saya percaya semua ini akan membawa saya ke tujuan yang sebenarnya.
Pertanyaannya sekarang, apakah saya mampu menjadi komunikator handal yang akan mengharumkan nama keluarga, atau pengusaha mandiri yang menciptakan jalan hidupnya sendiri? Atau, mungkinkah saya menemukan cara untuk merangkul keduanya?
Pada akhirnya, perjalanan ini bukan hanya soal menemukan jati diri, melainkan juga tentang memahami apa yang benar-benar penting dalam hidup. Bagaimana dengan Anda? Sudahkah Anda menemukan arah hidup, atau masih berusaha mencari jalan seperti saya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H