Mohon tunggu...
Irwan Saputra
Irwan Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Petualang

Bermimpi dan berani gagal

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Zina dalam KUHP dan Perda Syariah

3 Januari 2021   12:23 Diperbarui: 3 Januari 2021   12:24 1101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hukum positif Indonesia menganut dua pengertian zina. Zina yang dianut dalam KUHP yang berlaku secara umum untuk seluruh warga negara Indonesia terkecuali masyarakat di Aceh atau siapapun yang beragama Islam yang melakukan perbuatan zina di wilayah teritorial Provinsi Aceh, atau pelaku zina non muslim di Aceh yang menundukkan diri pada ketentuan qanun hukum jinayat.

Qanun hukum jinayat adalah aturan hukum setingkat Perda (peraturan daerah), atau disebut juga Perda Syariah yang mengatur tentang jarimah atau perbuatan yang dilarang dalam syariat Islam dan uqubah atau ancaman hukuman terhadap pelaku jarimah.

Jarimah dalam qanun hukum jinayat dibagi ke dalam dua kelompok, jarimah hudud (perbuatan yang sudah memiliki ketentuan hukuman yang baku dalam Alquran dan hadits) dan jarimah ta'zir (perbuatan yang belum ada ketentuan hukuman yang baku).

Zina dalam KUHP diatur dalam Pasal 284. Dalam pasal tersebut disebutkan para pelaku zina diancam dengan hukuman selama-lamanya sembilan bulan penjara.

Hukuman ini dapat dikenakan kepada laki-laki yang beristri atau perempuan yang bersuami berbuat zina sedang diketahui mereka masih terikat tali perkawinan seperti yang diatur dalam Pasal 27 KUHPerdata.

Pasal 284 ini juga menjerat pasangan zina yang belum kawin baik-laki atau perempuan sementara mereka mengetahui bahwa teman zinanya baik laki-laki atau perempuan yang masih terikat tali perkawinan.

Namun, apakah setiap pelaku zina dapat langsung dilakukan penuntutan? Dalam Ayat 2 Pasal 284 KUHP disebutkan, penuntutan hanya dapat dilakukan atas pengaduan suami atau istri yang merasa dirugikan atau dipermalukan atas perzinahan yang dilakukan oleh isteri atau suami mereka. Pasal ini menganut delik aduan yang absolut, artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau isteri yang merasa di rugikan.

Lebih lanjut, R. Soesilo dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya menjelaskan? Zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya.

Agar pasal ini dapat dikenakan pada pelaku zina, maka persetubuhan yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka, tidak boleh adanya paksaan dari salah satu pihak yang bersetubuh.

Adapun dimaksud dengan persetubuhan adalah pertemuan antara kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dilakukan untuk mendapatkan anak. Jadi, persetubuhan di sini adalah masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan sehingga mengeluarkan cairan sperma.

Sementara untuk pasangan yang melakukan persetubuhan yang masing-masing dari mereka tidak terikat tali perkawinan maka bagi mereka tidak dapat dilakukan penuntutan pasal perzinahan.

Nah, bagaimana zina dalam hukum Islam yang dianut qanun hukum jinayat? Zina yang dimaksud dalam qanun hukum jinayat adalah persetubuhan antara laki-laki atau perempuan yang tanpa ikatan perkawinan dan dilakukan atas dasar suka sama suka.

Jarimah zina diatur dalam Pasal 33 Ayat 1 Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, dimana setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah zina diancam dengan uqubat hudud cambuk 100 kali. Jarimah zina dikategorikan kepada hudud karena ketentuan hukumannya sudah baku, yaitu 100 kali cambuk berdasarkan Alquran Surat An-Nur ayat 2, sehingga tidak ada hukuman alternatif dalam pemberian uqubat zina.  

Berbeda dengan KUHP, zina dalam qanun hukum jinayat tidak menganut delik aduan, sehingga siapa saja dapat melaporkan. Hal itu diatur dalam Pasal 109 Ayat 1 Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat, dimana setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan/atau menjadi korban peristiwa yang merupakan jarimah berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik atau penyidik baik secara lisan maupun tulisan.

Adapun ruang lingkup berlakunya qanun hukum jinayat adalah kepada setiap orang yang beragama Islam yang berada dalam teritorial Provinsi Aceh.

Nah, bagaimana kalau orang Aceh yang melakukan jarimah zina tapi dilakukan di luar Aceh? Kemudian bagaimana jika pelaku zina adalah pasangan beda agama?

Untuk pelaku jarimah zina yang melakukan perbuatannya di luar Aceh, maka bagi mereka dapat dijerat dengan ketentuan pasal 284 KUHP. Namun apabila keduanya belum terikat tali perkawinan maka bagi mereka tidak dapat dikenai pasal perzinahan.

Sementara untuk pelaku jarimah zina beda agama, maka untuk yang beragama Islam tetap dikenai Pasal 109 qanun hukum jinayat, sementara untuk pasangan non muslimnya dapat memilih apakah menundukkan diri pada ketentuan qanun hukum jinayat atau ketentuan KUHP atau ketentuan pidana di luar KUHP.

Akan tetapi, jika jarimah zina yang dilakukan oleh pelaku non muslim tidak menjadi tindak pidana dalam ketentuan KUHP atau ketentuan pidana di luar KUHP maka terhadapnya tetap diadili di Mahkamah Syar'iyah dengan ketentuan qanun hukum jinayat, hal ini sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 94 Ayat 1, 2, dan 3 Qanun Hukum Acara Jinayat.

Nah, dari penjelasan di atas dapat dibedakan bahwa zina dalam ketentuan KUHP dengan zina dalam ketentuan qanun hukum jinayat terdapat perbedaan yang kentara.

Dalam KUHP, seseorang atau lebih baru dapat dikenakan pasal perzinahan apabila terjadinya persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isterinya, dan persetubuhan ini dilaporkan oleh isteri atau suami yang merasa dirugikan atas perbuatan tersebut.

Sementara zina dalam ketentuan qanun hukum jinayat adalah setiap persetubuhan yang dilakukan tanpa adanya ikatan perkawinan dan dapat dilaporkan oleh siapa saja yang melihat perbuatan zina itu terjadi.

Oleh karena itu yuk katakan tidak pada perzinahan, karena bukankah semua agama di Indonesia melarang umatnya untuk berbuat zina.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun