Hukum positif Indonesia menganut dua pengertian zina. Zina yang dianut dalam KUHP yang berlaku secara umum untuk seluruh warga negara Indonesia terkecuali masyarakat di Aceh atau siapapun yang beragama Islam yang melakukan perbuatan zina di wilayah teritorial Provinsi Aceh, atau pelaku zina non muslim di Aceh yang menundukkan diri pada ketentuan qanun hukum jinayat.
Qanun hukum jinayat adalah aturan hukum setingkat Perda (peraturan daerah), atau disebut juga Perda Syariah yang mengatur tentang jarimah atau perbuatan yang dilarang dalam syariat Islam dan uqubah atau ancaman hukuman terhadap pelaku jarimah.
Jarimah dalam qanun hukum jinayat dibagi ke dalam dua kelompok, jarimah hudud (perbuatan yang sudah memiliki ketentuan hukuman yang baku dalam Alquran dan hadits) dan jarimah ta'zir (perbuatan yang belum ada ketentuan hukuman yang baku).
Zina dalam KUHP diatur dalam Pasal 284. Dalam pasal tersebut disebutkan para pelaku zina diancam dengan hukuman selama-lamanya sembilan bulan penjara.
Hukuman ini dapat dikenakan kepada laki-laki yang beristri atau perempuan yang bersuami berbuat zina sedang diketahui mereka masih terikat tali perkawinan seperti yang diatur dalam Pasal 27 KUHPerdata.
Pasal 284 ini juga menjerat pasangan zina yang belum kawin baik-laki atau perempuan sementara mereka mengetahui bahwa teman zinanya baik laki-laki atau perempuan yang masih terikat tali perkawinan.
Namun, apakah setiap pelaku zina dapat langsung dilakukan penuntutan? Dalam Ayat 2 Pasal 284 KUHP disebutkan, penuntutan hanya dapat dilakukan atas pengaduan suami atau istri yang merasa dirugikan atau dipermalukan atas perzinahan yang dilakukan oleh isteri atau suami mereka. Pasal ini menganut delik aduan yang absolut, artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau isteri yang merasa di rugikan.
Lebih lanjut, R. Soesilo dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya menjelaskan? Zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya.
Agar pasal ini dapat dikenakan pada pelaku zina, maka persetubuhan yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka, tidak boleh adanya paksaan dari salah satu pihak yang bersetubuh.
Adapun dimaksud dengan persetubuhan adalah pertemuan antara kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dilakukan untuk mendapatkan anak. Jadi, persetubuhan di sini adalah masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan sehingga mengeluarkan cairan sperma.