(sumber gambar : http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/07/13/pramugari-pramugari-penghibur-380583.html)
Kita selalu trauma dan ikut bersedih bila mendengar kecelakaan pesawat udara. Miris ketika mendengar rekaman ucapan "Allahu Akbar" berkali-kali dari ruang kemudi pesawat Adam Air KI 574. Tak dapat membayangkan apa yang sebenarnya terjadi ketika pesawat itu mengalami kecelakaan beberapa tahun yang silam, tepatnya 1 Januari 2007.
Konon moda transportasi yang paling aman di dunia adalah pesawat udara. Dikatakan demikian karena dilakukannya pemeriksaan secara rinci terhadap kondisi kelayakan terbang dari pesawat udara tersebut.
Setiap akan lepas landas, beberapa awak pesawat akan memperagakan beberapa cara tindakan keselamatan, di antaranya adalah penggunaan masker oksigen dan pengoperasian pintu/jendela darurat. Merokok, yang dulu diperbolehkan, sekarang sudah tidak diperbolehkan sama sekali termasuk di toilet.
Peragaan cara tindakan keselamatan yang utama sebenarnya adalah penggunaan pelampung karena membutuhkan waktu peragaan yang lebih lama. Mulai dari cara memasang, cara mengembungkan, cara menghidupkan lampu darurat, cara bernafas, sampai di saat kapan seharusnya mengembungkan pelampung itu.
Namun, mengamati berbagai kecelakaan pesawat, akan menimbulkan pertanyaan "masih perlukah sebenarnya pelampung di pesawat udara?". Kalau kapal laut tentu kita memakluminya. Tapi untuk pesawat udara, bukankah yang diperlukan adalah semacam pelontar kursi yang berparasut?
Ya, benar, pelampung masih diperlukan bila pesawat mendarat darurat di air. Tapi berapa banyak kasus pesawat yang mendarat darurat di air? Bagaimana tingkat keberhasilannya?
Ah, mugkin perlu dipikirkan cara-cara baru dalam standar tindakan keselamatan penumpang di pesawat udara.