Mohon tunggu...
IRWAN ALI
IRWAN ALI Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti di Lingkar Data Indonesia

"Seseorang boleh saja pandai setinggi langit, tapi selama tidak menulis maka ia akan dilupakan oleh sejarah" - @Pramoedya_Ananta_Toer

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada untuk Siapa?

2 Oktober 2020   15:41 Diperbarui: 2 Oktober 2020   15:53 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Sumber: Sindonews.com

Sayangnya, semangat desentralisasi ini agaknya kurang memperoleh dukungan dari partai politik. Ada semacam keengganan partai politik mewakafkan sebagian kewenangannya di tingkat daerah. Padahal, pendelegasian kewenangan itu sangat penting dalam rangka mewujudkan desentralisasi politik dan penguatan demokrasi di tingkat lokal. Itu terlihat dari dinamika dan eksistensi partai politik yang justru semakin sentralistik. Sebuah kenyataan yang berbanding terbalik dengan semangat desentralisasi.

Kuat dugaan, wacana soal mahalnya biaya pilkada langsung hingga calon ideal kepala daerah dari kaum kaya yang semakin menguat akhir-akhir ini adalah bagian dari upaya  partai politik dalam mempengaruhi agenda setting untuk mengembalikan Pilkada ke DPRD.

Sebenarnya tawaran Pilkada kembali ke DPRD akan mudah diterima andai saja partai politik selama ini telah menunjukkan upaya pembenahan. Tetapi nyatanya, kembali pada paragraf sebelumnya, belum ada tanda-tanda perbaikan.

Bertolak dari paparan di atas, maka seharusnya substansi perbincangan ketika menyoal pilkada langsung bukan pada soal mahal atau murahnya pembiayaan pilkada. Sebab diskursus demokrasi memang bukan soal mahal atau murah, tapi soal poisisi kedaulatan rakyat.

Yang mestinya dibincangkan adalah mengapa hingga saat ini partai politik masih sentralistik? Atau kalau masih tetap ngotot membincang soal biaya, pertanyaannya adalah mengapa hingga saat ini belum ada upaya untuk menerapkan sistem e-vooting dalam pemilu agar pembiayaan lebih murah? Mengapa tidak ada upaya penyederhanaan konsep pilkada tanpa mengabaikan kedaulatan rakyat? Mengapa, mengapa, dan mengapa? Silahkan sambung sendiri pertanyaannya.

Pilkada Bulukumba

Terkait dengan pembahasan tulisan ini, menarik mencermati konstalasi politik di Pilkada Bulukumba, Sulawesi Selatan. Setelah menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pasangan calon kepala daerah diketahui Tomy Satria Yulianto (TSY) memiliki harta yang paling minimalis, yakni setara dengan Rp 1.307.803.853. Angka ini sangat jauh berada di bawah kekayaan Andi Muchtar Ali Yusuf sebagai kandidat terkaya. 

Dalam laporan LHKPN, pemilik Amaly Group ini tercatat memiliki kekayaan sebesar Rp 278.551.712.765. Sebuah angka yang fantastis. Menyusul  H. Askar HL dengan jumlah kekayaan Rp 65.005.624.144 dan Hamzah Pangki dengan kekayaan sebesar Rp 6.493.140.995.

Opini pun bergulir. Dengan jumlah kekayaan pada posisi paling buntut, TSY diminta bangun dari mimpi panjangnya. Sebab dalam posisi demikian, kecil kemungkinan TSY dapat memenangkan kontestasi. Sebaliknya, opini ini menjagokan Andi Muchtar Ali Yusuf dan H. Askar HL sebagai figur yang berpeluang besar memenangkan pilkada.

Sebagai opini, pandangan ini sah-sah saja. Tetapi bukan berarti bahwa opini tersebut menjadi satu-satunya perspektif sebagai rujukan dalam mengkonstruksi cara pandang. Sebab jika elaborasi lebih dalam, opini inii justru banyak mengandung pengingkaran terhadap logika dan kenyataan.

Pertama, ada banyak contoh pilkada yang menegasikan kepemilikan kekayaan berlimpah sebagai faktor penentu kemenangan. Masih ingat APPY-CICU pada pilkada Makassar? Kurang kaya apa APPY-CICU? Tetapi tetap saja terpaksa menelan pil pahit kekalahan melawan kotak kosong. Atau contoh yang lebih dekat, pada Pilkada Bulukumba 2015 silam, benarkah Sukri-Tomy merupakan kandidat terkaya? Bukan, tapi faktanya mereka dilantik menjadi Bupati dan Wakil Bupati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun