Mohon tunggu...
IRWAN ALI
IRWAN ALI Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti di Lingkar Data Indonesia

"Seseorang boleh saja pandai setinggi langit, tapi selama tidak menulis maka ia akan dilupakan oleh sejarah" - @Pramoedya_Ananta_Toer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

May Day, Antara Ratapan dan Dilema Anak Tiri

1 Mei 2017   02:38 Diperbarui: 1 Mei 2017   03:11 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senin besok, 1 Mei 2017 jalan-jalan di pusat kota diperkirakan macet. Ada jutaan buruh (seluruh Indonesia) sedang bersiap menggelar aksi demonstrasi memperingati May Day atau Hari Buruh Internasional. Bagi Anda mantan aktivis yang merindukan nostalgia masa lalu, besok adalah saat yang tepat. Datanglah ke pusat-pusat kota, saksikan aksi unjuk rasa atau sekalian menjadi peserta aksi.

Menurut sejarah, May Day ditetapkan pada tahun 1889 dalam sidang Internasional Working Men’s Association di Paris. Penetapan itu dilakukan untuk mengenang insiden berdarah di lapangan Haymarket, Chicago, Illinois, Amerika Serikat pada 4 Mei 1886, (kompas.com)

Disebutkan, pada 1 Mei 1886, sekitar 350.000 buruh yang diorganisir oleh Federasi Buruh Amerika melakukan demonstrasi dan aksi mogok kerja di berbagai negara bagian Amerika Serikat. Mereka menuntut pemberlakukan 8 jam kerja dalam sehari. Pertimbangannya adalah waktu 24 jam dalam sehari semalam seharusnya dibagi secara proporsional antara waktu kerja 8 jam, waktu rekreasi 8 jam, dan waktu tidur 8 jam.

Protes atas jam kerja ini mengemuka sebagai tuntutan buruh karena perusahaan ketika itu mewajibkan buruh bekerja antara 19 sampai 20 jam sehari. Aturan jam kerja tersebut dinilai tidak manusiawi.

Pada 4 Mei 1886, buruh kembali melakukan aksi dengan skala massa yang jauh lebih besar. Ketika orator terakhir hendak turun dari mimbar, sebuah bom meledak pada barisan polisi yang kemudian direspon dengan muntahan peluru dari moncong senjata polisi. Akibatnya, delapan orang buruh tewas dan sekitar 200 orang lainnya mengalami luka-luka.

May Day Di Indonesia

Di Indonesia, Hari Buruh Internasional pertama kali diperingati pada tahun 1920. Kemudian pada rezim Orde Baru diperingati hanya sekali, tahun 1966. Setelah itu ditiadakan karena dinilai sarat dengan pergerakan kaum kiri (komunis). Baru pada era reformasi kembali semarak. Mencapai puncaknya ketika rezim SBY pada 2013 lalu menetapkan Hari Buruh Internasional (1 Mei) sebagai hari libur nasional.

Berikut beberapa analisa sederhana dan cara pandang saya terhadap peringatan May Day di Indonesia, khususnya di Makassar. Pertama, aksi unjuk rasa yang dilakukan setiap tanggal 1 Mei seharusnya menjadi momentum bagi kaum buruh untuk menunjukkan kekuatan pada kaum borjuis (pemodal) juga kepada pemerintah. Serikat-serikat pekerja yang mengorganisasi kaum buruh mestinya telah memiliki data akurat tentang sejumlah fakta ketidakadilan dunia kerja terhadap buruh. Data itu kemudian diartikulasikan dalam bentuk poin tuntutan rasional (melewati tahap analisis pengkajian) pada aksi unjuk rasa Hari Buruh.

Dengan demikian, aksi yang digelar oleh kaum buruh di bagian barat hingga bagian timur Indonesia mengusung poin tuntutan yang sama. Substansi yang lebih penting adalah poin tuntutan itu berasal dari kondisi faktual, yakni perlakuan yang tidak adil kepada kaum buruh/pekerja.

Fakta ketidakadilan yang dimaksud, misalnya beberapa perusahaan nakal mensiasati aturan 8 jam kerja dalam sehari. Sebelum diterima bekerja, calon karyawan diwajibkan menandatangani perjanjian yang didalamnya memuat klausul tentang kesediaan bekerja dengan total dan loyalitas. Kata loyalitas kemudian didefinisikan sesuka hati oleh perusahaan sebagai kesediaan bekerja melewati waktu 8 jam kerja tanpa dihitung lembur. Untuk kasus ini, ada beberapa orang kenalan yang diperlakukan demikian.

Mengapa tidak menolak? Itulah cerdiknya perusahaan. Mereka sangat paham bahwa calon pekerja ini dalam posisi yang sangat membutuhkan pekerjaan. Calon pekerja butuh uang untuk membuat dapur terus berasap atau untuk memenuhi kebutuhan susu anak-anaknya.

Fakta ketidakadilan yang lain adalah upah yang diterima pekerja berada di bawah UMR/UMP. Misalnya Pemprov. Sulsel telah menetapkan UMP Rp 2 juta dalam sebulan, atau sekitar Rp70-80 ribu per hari tapi ada beberapa kasus pekerja menerima upah di bawah standar itu.

Kedua, jika aksi unjuk rasa yang digelar pada Hari Buruh diklaim sebagai bentuk perjuangan, maka langit senja pada 1 Mei  tidak seharusnya melimitasi gerakan perjuangan. Bahkan langit malam paling kelam sekalipun pada 31 Desember (7 bulan kemudian) tidak boleh menjadi pembatas berlangsungnya gerakan. Perjuangan sejati akan berakhir hanya dengan satu hal, tujuan telah tercapai.

Ketiga, Hari Buruh yang sudah beberapa kali diperingati semestinya berdampak pada bertambahnya kecerdasan dan keberanian kaum buruh. Cerdas dalam arti paham tentang aturan serta berani berteriak lantang pada perusahaannya ketika merasa diperlakukan tidak adil.

Ratapan Anak Tiri

Kondisi pemerintah/negara yang terkesan alpa atas masalah ketidakadilan yang dihadapi kaum pekerja membuat kita melihat aksi unjuk rasa yang berlangsung setiap tanggal 1 Mei tak lebih dari sekadar ratapan anak tiri. Negara/pemerintah yang seharusnya menjadi ‘Bapak’ bagi para buruh terpotret tidak berdaya. ‘Bapak’ berada dalam tekanan ‘ibu tiri’ yang bernama pemodal, investor, atau pengusaha.

Aturan yang telah ditetapkan oleh ‘Sang Bapak’ dengan mudah dapat disiasati oleh ‘Ibu tiri’. Pelanggaran? Asal tidak kedengaran tetangga semua bisa aman.

Inilah sebagian dampak dari liberalisasi ekonomi dan politik. Liberalisasi dalam bidang apapun menempatkan pemilik modal berada di singgasana agung. Ia bertahta dalam hierarki puncak decision maker.

Sementara kaum pekerja yang sudah kehilangan kepercayaan kepada pemerintah hanya serupa anak tiri yang meratapi nasib. Ratapan itu sesekali menggema melalui  pengeras suara. Menggema di antara kelesuan dan keputus-asaan, lalu menyerahkan sirkulasi nasibnya pada rotasi zaman.

Maka, jangan heran ketika menyaksikan orasi berapi-api mengabarkan poin ragam tuntutan dalam peringatan May Day, lalu besoknya menjadi senyap. Tanpa gerakan. Memang seperti itulah ratapan. Sebab kepada siapa tuntutan itu dilayangkan?

Ibarat seorang anak yang lebih memilih pamannya sebagai tempat curhat. Karena ia tahu, Sang Bapak terlanjur takluk pada ibu tiri. Bukankan menyampaikan keinginan pada mereka adalah hal yang sia-sia?

Dilema

Hidup itu tidak otoriter. Selalu ada ragam pilihan yang disajikan. Hanya saja setiap pilihan-pilihan itu punya konsekuensi.

Ketika kaum buruh diperlakukan tidak adil, pada saat yang sama ragam pilihan tersaji dihadapan mereka. Semacam fasilitas yang disiapkan sistem kehidupan untuk bereaksi terhadap suatu keadaan.

Berhenti menjadi buruh adalah salah satu contoh pilihan. Sebab hanya nalar kurang sehat yang membuat seseorang dapat bertahan pada lingkungan yang memperlakukannya secara tidak adil.

Lalu, ketika seseorang memilih tetap menjadi buruh lantas dapat disebut nalar mereka kurang sehat? Ternyata tidak. Ada banyak faktor lain yang daya dorongnya melampaui rasa kecewa atas ketidakadilan. Satu diantaranya adalah kebutuhan pemenuhan tuntutan hidup. Mereka harus tetap berkerja agar dapat membiayai kebutuhan sekolah anak-anaknya yang semakin hari semakin mencekik. Mereka dengan sangat terpaksa mengabaikan rasa sakit dan kecewa atas ketidakadilan karena beras di rumah semakin menipis.

Memilih posisi yang sedikit lebih baik dari sekadar buruh juga kurang memungkinkan. Pasalnya, skill dan kompetensi pas-pasan yang dimiliki tidak memenuhi syarat untuk itu. Di tengah keadaan seperti ini, berhenti menjadi buruh adalah pilihan yang kurang bijak.

Pada posisi inilah seharusnya negara/pemerintah diharapkan hadir, menjadi pelindung bagi rakyatnya. Sudahlah, anggap saja kita sedang berada di negeri dongeng. Sebuah negeri yang sibuk bukan main mengurusi sengketa kuasa berikut dengan hak angketnya.

Meminjam kalimat Najwa Shihab, bahwa demokrasi kita kadang serupa pasar bebas segala aspirasi yang sesekali menjelma serupa medan ilusi penobatan diri. Demokrasi bising penuh keriuhan jika menyangkut rebutan kekuasaan. Tak peduli nasib rakyatnya yang telah menjelma anak tiri.

Akhirnya, meski hanya serupa ratapan, tidak apa. Bukankah ratapan adalah tanda seseorang masih hidup? Jika kita percaya bahwa kehidupan kerap menyuguhkan kejutan, maka sebuah ratapan sudah lebih dari cukup untuk mengkonfirmasi bahwa kita adalah salah seorang yang mungkin berkesempatan menyaksikan kejutan itu. Selamat memperingati Hari Buruh. Semoga orasi peserta aksi menjadi titian datangnya kejutan kehidupan. Kejutan yang dapat menjadi alasan bagi kita untuk tersenyum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun