Kartini menikah pada 12 November 1903 dengan Bupati Rembang kala itu, bernama R.M.A.A, Singgih Djojo Adhiningrat. Sayang sekali, Kartini menjadi istri ke-4.
Kontroversi soal Kartini berawal pada 2 Mei 1964. Pada tanggal yang sama Presiden Soekarno menerbitkan Kepres No. 108 Tahun 1964 tentang penetapan Kartini sebagai pahlawan nasional, dan hari lahirnya 21 April, diperingati setiap tahunnya sebagai hari besar.
Pengistimewaan Kartini terkesan pilih kasih. Sebab ada banyak pahlawan wanita lainnya yang jasa dan perjuangannya bahkan jauh melampaui Kartini. Mereka adalah Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Martha Christina Tiahahu, Rohana Kudus, dan beberapa nama lainnya. Jika Hari Kartini ada, mengapa tidak ada Hari Dewi Sartika?
Anomali Kartini
Saya tidak bermaksud untuk turut ambil peran pada debat kontroversi ini, tapi beberapa poin ini patut didiskusikan.
Pertama, bahwa Kartini berkontribusi pada kemajuan berpikir, khususnya dalam bidang kesetaraan hak gender, saya katakan ‘Iya’. Itu adalah jasa beliau, dan untuk itu kita layak berterima kasih.
Kedua, dalam perjuangannya menuntut kesetaraan gender melalui surat-suratnya, Kartini tidak berasal dari ruang sosial yang sudah mengadopsi tradisi kesetaraan gender. Â Ia merupakan bagian dari kelompok yang diperjuangkan. Kartini tersentak membaca kehidupan wanita Eropa yang bebas dan merdeka. Berbeda jauh dengan keadaannya yang dipingit, dipoligami, dan dikekang. Oleh karena itu, besar kemungkinan motif utama perjuangan Kartini adalah untuk kepentingan dirinya sendiri.
Aktivitas membaca Kartini yang kemudian berkembang ke surat-suratan adalah pengisi waktu saat ia menjalani masa pingitan. Artinya, sebelum masa pingitan itu tiba ia tidak merasa gerah dengan kondisi bangsa yang terjajah.
Maksudnya, dari sudut pandang ‘memberi’ dan ‘menerima’, kisah Kartini lebih kental pada posisi keinginan untuk menerima. Tidak seperti Cut Nyak Dien dan Dewi Sartika yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk perjuangan merebut kemerdekaan. Ia meninggalkan keluarga dan zona nyamannya.
Ketiga, kepandaian Kartini menulis surat (bukan surat cinta untuk starla) yang membuat hari lahirnya dinobatkan sebagai hari besar, menurutku memang sedikit kurang fair. Kartini bisa membaca dan menulis surat karena keberuntungannya lahir dari keluarga ningrat. Dengan status ningrat itu ia memiliki kesempatan untuk sekolah.
Maksudnya adalah ketika Kartini mengunakan apa yang dia pelajari semasa kecil untuk berjuang, mestinya bernilai sama dengan pahlawan wanita lainnya. Bukankah mereka berjuang untuk kepentingan yang sama, kebebasan.