Berkaitan dengan serangan opini, berikut analisa sederhana tentang aksi sekelompok orang yang mengatasnamakan diri sebagai PPKL Islamic Center.
Sebuah gambar spanduk bertuliskan “Tomy Satria Yulianto—Janci Mutaroe” hinggap di layar ponselku. Pada spanduk itu ada gambar TSY. Layoutnya cukup estetis menurutku. Menurut kabar, spanduk itu adalah alat peraga yang digunakan oleh PPKL Islamic Center dalam unjuk rasa di DPRD Bulukumba.
Unjuk rasa atau apapun namanya menurutku biasa saja. Sejauh tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, saya rasa siapapun dia berhak untuk menyatakan pendapat melalui unjuk rasa.
Hanya yang sedikit terasa getir ketika realitas yang tersaji menguatkan dugaan bahwa tanpa sadar saudara-saudara kita (para pedagang) telah ditunggangi oleh oknum dengan kepentingan dan tujuan lain.
Sayang sekali, skenario politik yang membonceng pada aksi ini terlihat begitu telanjang, dan sedikit amatir. Alih-alih menyampaikan pesan kepada publik, skenario ini cenderung lebih terlihat seperti parodi yang membuat kita tertawa ngakak.
Dari sudut pandang komunikasi, konsistensi logika adalah hal yang wajib diperhatikan. Mengabaikan berarti fatal, karena pesan yang ingin disampaikan tidak berhasil mencapai pihak penerima pesan. Mematuhi hukum logika adalah syarat dasar pesan—entah bersifat agitasi atau propaganda— yang baik. Jika tidak, maka pesan itu tak lebih dari sekadar polusi audio/visual yang tak bermakna.
Kembali ke spanduk, saya melihat ada semacam kesenjangan yang begitu lebar antara fakta (keadaan PPKL) sebagai pengirim pesan, konten pesan (janji dan TSY), dan penerima pesan (Masyarakat)
Pertama, melihat desain layout, konten, dan bahan dasar spanduk itu membuat kita bertanya-tanya, untuk apa para pedagang itu mengeluarkan duit jika tujuannya murni hanya untuk menyampaikan aspirasi? Ini mendorong kita untuk curiga, ada sutradara politik di balik ini. Dugaan saya, dikemas seperti itu agar foto TSY tampak nyata terpampang dalam spanduk.
Kedua, konten pesan tentang janji. Juga kurang jelas. Kemudian aspirasi yang bernada protes itu tertuju kepada TSY dalam kapasitasnya sebagai pemerintah daerah. Yang menggelitik adalah karena pemerintah daerah di tingkat kabupaten menurut undang-undang adalah seorang bupati yang dibantu oleh seorang wakil bupati. Mestinya, ada dua gambar (Bupati dan Wakil Bupati) agar sedikit tampak sungguhan.
Ketiga, penerima pesan. Dalam konteks ini sebenarnya ada dua pihak penerima pesan, yakni DPRD sebagai penerima aspirasi (pesan langsung) dan masyarakat (pesan tidak langsung).
Dari kacamata skenario komunikasi politik, masyarakat diposisikan sebagai penerima pesan utama. Mungkin pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa TSY adalah seorang pembohong besar. Ia tak layak memperoleh mandat rakyat. Singkatnya, sebagai pemimpin daerah TSY mengecewakan.