"Sepertinya rakyat butuh jasa debt collector untuk menagih hutang anggota DPR," kata teman saya seperti bergumam, sesaat setelah di layar TV tampil berita tentang rencana pembangunan gedung baru DPR yang diputuskan untuk dilanjutkan. Saat itu kami sedang duduk di sebuah warung kopi, menikmati secangkir kopi hangat + Barongko (kue khas Makassar) sambil diskusi-diskusi ringan.
Saya terkekeh mendengar kekonyolan teman saya itu. Bagaimana mungkin orang-orang yang katanya terhormat seperti anggota DPR dibawakan debt collector atau penagih utang? Bukankah akan menjadi tidak terhormat kalau itu sampai terjadi?
Tapi kalau dipikir-pikir perkataan konyol teman saya masuk akal juga. Debt Collector adalah profesi yang khusus menangani orang-orang yang lupa dengan utang-utangnya.
Spontan, teman saya yang lainnya berkomentar, "Setuju. Anggota DPR itu kan tebal muka, mereka hanya terampil berjanji tapi tidak ada kesungguhan menepati janji-janjinya. Harusnya memang ada semacam lembaga negara yang bertugas seperti tugas-tugas debt collector. Kalau perlu, lembaga ini diberikan kewenangan untuk mengeksekusi anggota dewan dan pejabat negara lain yang terbukti tidak membayar utang-utang janjinya," katanya berapi-api.
"Tapi bagaimana caranya? Bukankah itu semua perlu regulasi? Dan kewenangan membuat regulasi itu berada di tangan DPR, kelompok yang akan ditagih," demikian kataku memanasi perbincangan warung kopi itu.
Diskusi ringan itu terus berlanjut, antara satu dan yang lainnya sama-sama bersemangat untuk menghadirkan sesuatu yang berfungsi sebagai penagih utang dengan berbagai macam alasan.
Perbincangan ringan itu terinspirasi dari dua peristiwa besar yang terjadi belakangan ini. Yaitu peristiwa meninggalnya Irzen Octa, nasabah Citibank, di tangan Collector dan rencana pembangunan gedung baru DPR berlantai 36. Kedua peristiwa ini menyita perhatian publik.
Diskusi tadi boleh dianggap sebagai sesuatu yang konyol atau bahkan kegilaan berpikir. Terserah, pembaca budiman mau pilih yang mana. Gratis kok ... Hehehe
Hanya yang perlu jadi catatan bahwa diskusi spontan seperti itu biasanya memang lahir dari nurani. Sebuah bentuk keresahan atas ulah para anggota DPR yang tak lagi peduli dengan tugasnya sebagai wakil rakyat. Mereka terkesan hanyut dalam situasi hedonisme politik. Bersenang-senang di atas jerit tangis konstituennya yang kesulitan menyekolahkan anak-anaknya, berhura-hura di atas keresahan parade pengangguran di dapilnya yang kesulitan memperoleh akses lapangan kerja.
Lebih jauh, mereka seolah berwatak seperti singa yang siap menerkam siapa saja yang ada didepannya. Bahkan pada titik tertentu, kelompok ini melampaui keganasan singa. Seekor singa tidak perlu lagi ditakuti saat sudah kenyang. Sebaliknya, anggota DPR tidak pernah kenyang. Mereka terus-menerus 'mengaum' untuk mencari mangsa.
Terkait pembangunan Gedung, berbagai komentar dilontarkan oleh mereka yang semakin menegaskan betapa rendahnya kualitas anggota DPR kita. Beberapa pernyataan yang kira-kira maknanya seperti ini: 1) Masyarakat biasa jangan diajak diskusi terkait pembangunan Gedung DPR, karena mereka tidak akan tahu. Cukup orang-orang pintar saja. 2) Masyarakat jangan membandingkan antara sekolah yang tidak punya atap dengan pembangunan gedung DPR.
Pernyataan-pernyataan itu, sungguh melukai hati rakyat. Kita bahkan ingin menangis mendengar orang-orang yang kita pilih beberapa tahun silam sebagai wakil kita justru tak segan-segan jadi pengkhianat. Rakyat serasa ditampar dengan ucapan wakil rakyat yang lupa diri itu.
Gedung baru DPR yang akan dibangun akan menjadi 'Menara Kebencian Rakyat.' Setiap kali melihat gedung itu, rakyat akan selalu ingat kata-kata menyakitkan yang pernah terlontar dari mulut bau mereka.
Sebenarnya belum terlambat bagi para anggota DPR untuk bertobat. Sampai hari ini, rakyat masih menunggu itikad baik dari 'wakil-nya'. Rakyat masih berharap DPR bersujud di atas altar pertobatan, dan kembali ke jalan yang benar. Membatalkan atau minimal menunda pembangunan Gedung supermewah itu adalah salah satu yang ditunggu rakyat sebagai wujud pertobatan. Dengan menunda, minimal rakyat berpikir bahwa Wakilnya masih berempati dengan mereka.
Sebaiknya memang, DPR membuka kuping sedikit saja dan mendengar teriakan histeris rakyat. Bukalah laptop tablet dan lihat di Kompasiana atau situs-situs lain, betapa penolakan itu beriak seperti air bah. Sekali-sekali laptop itu di buka untuk melihat reaksi rakyat, jangan hanya gemar buka situs porno.
Ini penting, jangan sampai rakyat berubah sosok menjadi debt collector yang akan menagih janji-janji anggota DPR. Saya takut, jika ini terjadi, DPR akan bernasib sama dengan Irzen Octa. Atau mungkin lebih parah dari itu.
Saran saya, dengarkanlah teriakan rakyat. Sebab mereka tidak sekadar berteriak. Teriakan-teriakan mereka sebagai pertanda bahwa ada yang tidak beres sedang mengusik kedamaian hati mereka. Katakanlah mereka memang 'bodoh' seperti kata DPR, tapi mereka punya mata dan telinga untuk melihat dan mendengarkan kemunafikan-kemunafikan yang sedang terjadi.
Sekarang kita menunggu, akankah terhampar altar pertobatan atau justru rakyat bermetamorfosis menjadi debt collector? Ya ... Debt Collector Untuk DPR ... !!! Seperti perkataan konyol teman saya tadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H