Mohon tunggu...
Irwan E. Siregar
Irwan E. Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Bebas Berkreasi

Wartawan freelance, pemerhati sosial dan kemasyarakatan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kopi Paste daripada Nyangkol

19 Maret 2024   17:08 Diperbarui: 19 Maret 2024   17:11 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JELANG akhir Februari lalu ramai-ramai wartawan mengucapkan tahniah kepada Zulmansyah Sekedang. Mantan Ketua PWI Riau yang kini jadi petinggi di PWI Pusat itu lulus memuaskan dalam ujian disertasi S2 di Fisip UNRI, Pekanbaru.

Keberhasilan wartawan senior ini menambah deretan para kuli tinta meraih gelar pendidikan dengan jenjang yang lebih tinggi. Tak hanya di tingkat S2 saja. Bahkan sebagian sudah meraih titel doktor. Meskipun sebagian di antaranya bukan di bidang jurnalistik.

Menariknya objek tesis yang diteliti Zulmansyah adalah tentang berita Copy Paste atau kerennya 'jurnalisme kloning' di kalangan wartawan. Tesis ini, bak kata pepatah: "Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri", memang pas betul. Betapa tidak, Zulmasyah yang kini membawahi ribuan wartawan, mau tak mau pasti terimbas dengan pengkloningan berita yang dilakukan para kuli tinta.

Copy paste berasal dari istilah di bidang komputer tentang penggandaan berkas. Dengan menekan tombol Copy, naskah dengan gampang dipindahkan ke tempat lain.

Nah, begitulah kecenderungan wartawan ketika era mesin ketik telah beralih ke komputer. Seorang wartawan yang baru selesai membuat berita langsung diserbu rekan-rekannya untuk mengopipaste naskah berita tersebut.

Pengkloningan berita menyebabkan hampir semua media menyiarkan berita yang mirip betul. Seringkali hanya kode pembuat berita di bagian paling akhir yang berbeda. Selebihnya semua sama, termasuk judul berita.

Lebih tragis lagi, kloning berita tak lagi hanya dilakukan sesama wartawan yang satu pos peliputan. Media juga dengan beraninya mengkloning berita dari media online. Misalnya, tak sedikit media yang mengambil berita mentah-mentah dari media online seperti Detik.com. Di ujung berita cuma dituliskan 'dtc' dengan huruf kecil.

Praktek kloning berita seperti ini sebenarnya sempat membuat uring-uringan pemilik media yang beritanya dijiplak begitu saja. Saat masih menjadi bos Detik.com, Budiono Darsono, sampai mendatangi media-media di daerah. Ia menuntut kompensasi dari pengkloningan tersebut. "Kami juga mendapatkan berita ini dengan mengeluarkan biaya," katanya.

Namun, boleh dikatakan nyaris tidak ada media yang mengopeninya. Hingga kini mereka tetap melakukan kloning berita tanpa membayar sepeser pun. Padahal berita yang dijiplak itu banyak yang jadi headline di medianya.

Perilaku pengkloningan berita tentu saja akan membuat wartawan semakin tidak profesional. Ibarat kata, seperti mengutip seseorang yang ikut tes untuk menjadi anggota PWI pada suatu ketika dulu. Saat ditanya mengapa ingin jadi wartawan, dengan santainya dia menjawab: "Daripada nyangkol."

Wartawan sebenarnya sebuah profesi yang mulia. Zaman orde lama wartawan dijuluki Ratu Dunia. Tak gampang untuk bisa terjun ke profesi ini. Makanya di perguruan tinggi terkemuka di tanahair dibuat fakultas atau jurusan publisistik/jurnalistik. Kendati pun kebanyakan para lulusannya kemudian ternyata tidak jadi wartawan. Bahkan tak sedikit wartawan yang berasal dari disiplin ilmu lain. Seperti teknik, pertanian, ekonomi, dan juga kedokteran. Dulu IPB (Institut Pertanian Bogor) dikenal banyak menetaskan wartawan. Begitu juga dengan ITB.

Untuk melengkapi bekal ketrampilan kewartawanan mereka tentu saja diperlukan pelatihan dan pendidkan jurnalistik yang memadai. Saat menjadi wartawan Jawa Pos Biro Jakarta yang manajemennya baru setahunan dipegang Majalah Tempo, berita-berita yang kami buat diharamkan sama dengan berita di media lain. Kalau ada sebuah acara, kami terpaksa pontang-panting mencari angle atau sisi lain. Saat Menteri Perindustrian Hartarto mengadakan rapat kerja di DPR RI, saya yang ngepos di situ terpaksa mencegat dan mewawancarai si menteri ketika buang air kecil di toilet. Semua itu dilakukan untuk mendapatkan berita yang eksklusif. Hal itulah antara lain yang membuat koran ini bisa cepat leading.

Saat kemudian bertugas di Majalah Tempo, cara kerja seperti itu justru kian kental. Setiap rapat perencanaan, usulan berita yang disampaikan selalu ditimpali pertanyaan dari peserta rapat: "Anglenya apa?" Memang perlu dicari angle lain, karena suatu kejadian sudah habis digarap media harian. Untuk melawan televisi pun, terpaksa dibuat deskripsi yang sangat mengalir.

Nah, untuk menghasilkan sebuah berita yang 'enak dibaca dan perlu' para wartawan dan redaktur harus terus mengasah kemampuan. Karena itu, untuk menghindari terus maraknya praktek kloning berita, wartawan harus dibekali ilmu jurnalistik yang memadai.

Sebenarnya, begitu terpilih sebagai Ketua PWI Riau periode kedua, saya mengusulkan kepada Zulmansyah agar organisasi yang dipimpinnya rutin melakukan pendidikan/pelatihan kepada seluruh wartawan. Baik yang berada di kota maupun kabupaten. Tanpa ada upaya seperti itu, praktek kloning berita akan sulit dihentikan. Daripada nyangkol? Mendinganlah mengisi media dengan berita-berita kopi paste. Begitu kah? (irwan e. siregar)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun