Wartawan sebenarnya sebuah profesi yang mulia. Zaman orde lama wartawan dijuluki Ratu Dunia. Tak gampang untuk bisa terjun ke profesi ini. Makanya di perguruan tinggi terkemuka di tanahair dibuat fakultas atau jurusan publisistik/jurnalistik. Kendati pun kebanyakan para lulusannya kemudian ternyata tidak jadi wartawan. Bahkan tak sedikit wartawan yang berasal dari disiplin ilmu lain. Seperti teknik, pertanian, ekonomi, dan juga kedokteran. Dulu IPB (Institut Pertanian Bogor) dikenal banyak menetaskan wartawan. Begitu juga dengan ITB.
Untuk melengkapi bekal ketrampilan kewartawanan mereka tentu saja diperlukan pelatihan dan pendidkan jurnalistik yang memadai. Saat menjadi wartawan Jawa Pos Biro Jakarta yang manajemennya baru setahunan dipegang Majalah Tempo, berita-berita yang kami buat diharamkan sama dengan berita di media lain. Kalau ada sebuah acara, kami terpaksa pontang-panting mencari angle atau sisi lain. Saat Menteri Perindustrian Hartarto mengadakan rapat kerja di DPR RI, saya yang ngepos di situ terpaksa mencegat dan mewawancarai si menteri ketika buang air kecil di toilet. Semua itu dilakukan untuk mendapatkan berita yang eksklusif. Hal itulah antara lain yang membuat koran ini bisa cepat leading.
Saat kemudian bertugas di Majalah Tempo, cara kerja seperti itu justru kian kental. Setiap rapat perencanaan, usulan berita yang disampaikan selalu ditimpali pertanyaan dari peserta rapat: "Anglenya apa?" Memang perlu dicari angle lain, karena suatu kejadian sudah habis digarap media harian. Untuk melawan televisi pun, terpaksa dibuat deskripsi yang sangat mengalir.
Nah, untuk menghasilkan sebuah berita yang 'enak dibaca dan perlu' para wartawan dan redaktur harus terus mengasah kemampuan. Karena itu, untuk menghindari terus maraknya praktek kloning berita, wartawan harus dibekali ilmu jurnalistik yang memadai.
Sebenarnya, begitu terpilih sebagai Ketua PWI Riau periode kedua, saya mengusulkan kepada Zulmansyah agar organisasi yang dipimpinnya rutin melakukan pendidikan/pelatihan kepada seluruh wartawan. Baik yang berada di kota maupun kabupaten. Tanpa ada upaya seperti itu, praktek kloning berita akan sulit dihentikan. Daripada nyangkol? Mendinganlah mengisi media dengan berita-berita kopi paste. Begitu kah? (irwan e. siregar)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H