Pajak pada hakekatnya adalah pengorbanan rakyat, dimana mereka dipaksa atau terpaksa menyisihkan sebagian penghasilannya untuk diserahkan ke negara dalam bentuk pajak dengan besaran (persentase) tertentu sesuai yang telah diatur dalam ketentuan dan peraturan perpajakan. Selain atas penghasilan, masyarakat juga harus menanggung beban pajak ketika memanfaatkan (konsumsi) barang dan jasa yang dikenakan pajak (PPN atau Pajak Pertambahan Nilai).
Bila pajak penghasilan hanya ditanggung oleh mereka yang memiliki penghasilan di atas batas tertentu, PPN ini tidak pandang bulu, menyasar seluruh lapisan masyarakat dari kalangan atas sampai bawah. Konsumsi atas barang dan jasa apapun, sepanjang menurut aturan termasuk barang dan jasa yang dikenakan PPN, maka seluruh lapisan masyarakat harus menangggungnya.
Berbeda dengan PPh yang melihat penghasilan dan kekayaan pembayarnya (dalam istilah perpajakan disebut sebagai kemampuan ekonomis), PPN tak membedakan apakah seorang pembeli atau konsumen merupakan seorang pengusaha kaya atau rakyat biasa, konglomerat atau masyarakat di bawah garis kemiskinan. Ketika mengonsumsi barang dan jasa yang dikenai PPN, semua membayar pajak (PPN) dengan beban yang sama. PPN sebesar Rp550.000 dalam sebuah televisi seharga Rp5.000.000, ditanggung dalam jumlah yang sama persis, baik televisi tersebut dibeli oleh Bapak Gunawan yang merupakan seorang konglomerat terkemuka maupun Bapak Budi yang berasal dari rakyat biasa.
Maka jelas, pajak yang ada dalam APBN itu sesungguhnya berasal dari pembayaran pajak oleh seluruh lapisan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Selama ini ada pemahaman yang salah kaprah, seolah-olah pembayar pajak itu identik dengan mereka yang kaya raya dan memiliki penghasilan yang tinggi. Ada pula yang menganggap pembayar pajak hanya mereka yang telah memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan melaporkan SPT (Surat Pemberitahuan). Padahal, pajak sesungguhnya dibayar oleh seluruh masyarakat termasuk mereka yang berpendapatan rendah dan belum memiliki NPWP.
Setelah memahami bahwa seluruh masyarakat turut berkontribusi membayar pajak, sementara pemulihan ekonomi dibiayai dari pajak, maka jelas bahwa secara tidak langsung seluruh masyarakat berperan penting dalam pemulihan ekonomi akibat pandemi. Tanpa dukungan masyarakat dalam bentuk kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakannya, anggaran untuk pemulihan ekonomi akibat pandemi akan sangat terbatas. Dampak akhirnya jelas, stabilitas ekonomi akan sulit tercapai.
Pajak kita, kunci stabilitas ekonomi nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H