Mohon tunggu...
Irwan DwiPriyantono
Irwan DwiPriyantono Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

olahraga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketimpangan Gender dan Relasi Kuasa terhadap Pelecehan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi

17 Desember 2022   17:50 Diperbarui: 17 Desember 2022   18:13 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Latar Belakang

Perilaku menyimpang sejak dahulu hingga sampai sekarang selalu menjadi sorotan, baik dari kalangan kelas atas maupun kelas bawah. Berbicara perilaku menyimpang bukanlah persoalan sederhana di segala lingkungan, dari Pendidikan, pekerjaan, dll.  Seiring perkembangan zaman, perilaku menyimpang ini sangat sulit diatasi, karena pada setiap hari/bulan/tahun pasti ada seseorang melakukan hal yang menyimpang. Misalnya pelecehan sexsual. Pelecehan seksual ini dapat dijumpai diberbagai kalangan misalnya, dilingkungan kampus, lingkungan pekerjaan, lingkungan rumah, dan ada juga lingkungan tempat beribadah.

Kasus pelecehan seksual kini marak terjadi dimana-mana, dari banyak. Dari banyaknya kasus yang dimasyarakat melalui media sosial/ berbicara antar manusia dengan manusia dapat kita ketahui bahwa dalam kekerasan seksual ini selalu terdapat dua pihak yang biasa kita sebut pelaku dan korban. Berbicara pelecehan seksual yang ada dimasyarakat, biasanya kita mendapatkan informasi bahwa yang manjadi korban ialah kebanyakan kaum perempuan disbanding laki-laki. Pada data (kemenppa) mengenai pelecehan seksual laki-laki dan perempuan, laki laki lebih sedikit menjadi korban pelecehan seksual sebanyak 4.082 dibanding dengan perempuan yang mengalami pelecehan seksual sebanyak 22.430. dalam data ini sudah sangat jelas, kebanyakan yang terjadi di masyarakat yang mengalami menjadi korban pelecehan seksual ialah kaum perempuan.

Disetiap kasus pelecehan seksual, wanitalah yang kebanyakan menjadi korbannya. Dengan berkembangnya teknologi yang seharusnya dimanfaatkan dengan benar malah contohnya: belajar melalui internet, berkomunikasi dengan orang, melakukan pekerjaan melalui internet. Tetapi ada juga pengaruhnya terhadap  seseorang melakukan tindakan pelecehan seksusal akibat adanya teknologi tersebut.

Pada lingkungan Pendidikan terutama Pendidikan tinggi/ kampus, telah banyak sekali kejadian pelecehan seksual. Dari pemimpinan rektor kepada dosen, rektor kepada mahasiswa, dosen kepada dosen, dosen kepada mahasiswa, dan bahkan mahasiswa kepada dosen. Hal ini  Komnas Perempuan mencatat bahwa selama periode 2017-2021 kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan paling banyak terjadi di perguruan tinggi, yakni 35 kasus. Diikuti pesantren dengan 16 kasus, dan sekolah menengah atas (SMA) 15 kasus[1].. 

Dalam data ini merupakan suatu permasalahan yang serius, karena pada setiap tahunnya selalu ada kasus pelecehan seksual di dunia Pendidikan. Pemerintah sudah berupaya merespon kondisi ini melalui pemberlakuan Peraturan Mendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Pada tahun 1967 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan kenjelaskan keterangan yang berisikan penghapuan diskriminasi kepada wanita.[2] Yang artinya hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan sama. Keluarnya deklarasi PBB, seharusnya tidak ada lagi ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan. Selain relasi jenis kelamin, kedekatan kuasa sangat berpengaruh terhadap kejahatan pelecehan seksual yang dimana biasanya pelaku mempunyai kuasa yang lebih tinggi disbanding korbannya. Karena jika seseorang mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi terkadang seseorang tersebut melakukan perbuatannya semenah-menah/ yang mau dia inginkan. 

 Penulisan Paper ini bertujuan untuk mengetahui serta memahami dan menganalisis suatu kasus mengenai ketimpangan gender dan kuasa terhadap kasus pelecehan seksual. Penulisan ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah teori sosiologi modern.

 Pembahasan

 1. Ketimpangan gender

 Ketimpangan menurut kbbi ialah kepincangan/ hal yang tidak sebagaimana mestinya.[3] Sedangkan Pengertian gender menurut Muhtar (2002), bahwa gender dapat diartikan sebagai jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin. Sementara Fakih (2008: 8) mendefinisikan gender sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Istilah gender dibedakan dari istilah seks. Oakley, ahli sosiologi Inggris, merupakan orang yang mula-mula memberikan pembedaan dua istilah itu (Saptari dan Halzner, 1997: 88). 

Dalam merunjuk perbedaan gender laki-laki atau perempuan bedasarkan kontruksi sosial budaya, yang bersifat status, posisi, sifat dan peran yang ada didalam masyarakat. Istilah seks merunjuk pada jenis kelamin perempuan dan laki-laki secara biologi yang biasanya berbicara reproduksi dan prokreasi. Perempuan dicirikan dengan adanya vagina, payudara, sel telur, Rahim. Sedangkan laki-laki bericirikan dengan adanya sel sperma dan penis.  Seseorang yang sudah di takdirkan menjadi perempuan/laki-laki dari lahir, akan terus menurus sampai tua (permanen) dalam gender yang ditakdirkan ketika lahir.

Dalam hal ini ketimpangan gender adalah suatu ketidakadilan antara  perempuan dan laki-laki dari hak dan kewajibannya dalam masayarkat. Untuk lebih jelasnya mengenai faktor-faktor ketimpangan gender.

A. Budaya Patriarki

Patriarki adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan sistem sosial dimana kaum laki-laki sebagai suatu kelompok mengendalikan kekuasaan atas kaum perempuan[4]. Budaya Patriarki ini merupakan budaya dari zaman dahulu yang dimana memandang lelaki kedudukannya lebih tinggi dibanding perempuan.  

B. Tindak Kekerasan kepada Perempuan

Dalam bermasyarakat, keluarga, dll perempuan selalu dianggap yang lemah secara fisik disbanding laki-laki. Perempuan seringkali mengalami kekerasan dalam bentuk pelecehan seksual, pemerkosaan, pemukulan, dll. Dalam masalah ini seharusnya laki-laki bisa berbicara dengan perempuan mengenai permasalahan pada saat itu, karena jika keduanya besar kepala semua, maka adanya konflik antar laki-laki dan perempuan. Jika konflik berlangsung maka adanya pertekaran, pemukulan, pemerkosaan,dll.  Mengenai cara mengatasi ketimpangan gender antara lain; sering berkomunikasi dengan baik antara laki-laki dan perempuan, sadar diri dalam berbicara dengan orang, stop streotip.

2. Relasi Kuasa

Relasi kuasa (power relation) adalah hubungan antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya berdasarkan ideologi tertentu. Kekuasaan (power) adalah konsep yang kompleks dan abstrak, yang secara nyata mempengaruhi kehidupan mereka. Selain itu, kekuasaan juga dapat didefinisikan sebagai kemampuan pemangku kepentingan, untuk menentang atau mendukung individu atau kelompok lainnya (Thomas, 2004:10).[5] Relasi kekuasaan adalah hubungan yang terbentuk antar manusia dengan manusia tertentu yang memiliki suatu kepentingan dengan tingkat kekuasaan yang berbeda.  Didalam relasi kekuasaan mempunyai hubungan sosial yakni seorang manusia memiliki kemampuan untuk mengubah perilaku aktor lainnya. Dalam hal ini kekuasaan memiliki pengaruh dalam membentuk sebuah kegiatan sesuai kepentingan seseorang.

3. Pelecehan Seksual

Farley (1978) mendefinisikan pelecehan seksual sebagai rayuan seksual yang tidak dikehendaki penerimanya, di mana rayuan tersebut muncul dalam beragam bentuk baik yang halus, kasar, terbuka, fisik maupun verbal  dan bersifat searah. Meyer dkk. (1987) menyatakan secara umum ada tiga aspek penting dalam mendefinisikan pelecehan seksual yaitu aspek perilaku (apakah hal itu merupakan proposisi seksual), aspek situasional (apakah ada perbedaan di mana atau kapan  perilaku tersebut muncul) dan aspek lega litas (dalam keadaan bagaimana perilaku  tersebut dinyatakan ilegal).[6] aktor akan mengubah perilakunya karena memperhitungkan akibat-akibat tertentu kalau tingkah laku tersebut dilanjutkan. Reaksi-reaksi yang timbul baik positif maupun negatif ataupun netral pada lingkungan sosial atau fisik akan mempengaruni tingkah laku aktor berikutnya. [7]

Pelecehan seksual ini kebanyakan yang terjadi dimaskyarakat dari adanya verbal dan godaan secara fisik kepada korban. Verbal disini adalah suatu bujukan seksual kepada korban yang tidak diharapkan , pesan seksual, mengajak korban untuk kencan tetapi selalu di tolak. Sedangkan pelecehan seksual dalam bentuk godaan fisik ialah suatu tatapan pelaku kepada korban melihat area intim (payudara, pinggul, area vagina) secara terus menurus. Selain itu bentuk fisik dari pelcehan seksual ialah menyentuh daerah yang merangsang seperti payudara, pinggul, area vagina. Selain itu endusan kepada area sensitive juga sangat berpengaruh kepada pelecehan seksual. Misalnya bagian  leher, telinga, dll. Selain itu pengaruh media massa pada pelecehan seksual ini sangat berpengaruh,misalnya melihat video porno dan orang tersebut akan mencoba kepada seseorang yang dia kenal bahkan yang dia tidak kenal. Melalui aplikasi komunikasi juga sangat banyak terjadi pelecehan seksual. Misalnya meminta foto yang seksi, mengomentar bodynya bagus, video call mengarahkan ke area intim, dll. Cara mengatasi hal tersebut ialah:

A, berpakaian jangan berlebihan

B, cuekin aja kepada pelaku saat terjadi dan langsung menyulusuri tempat yang ramai

C. lapor kepada pihak yang berwajib

4. Teori kekuasaan Michel Foucault

Konsep kekuasaan Foucault memiliki pengertian yang berbeda dari konsep-konsep kekuasaan yang mewarnai perspektif politik dari sudut pandang Marxian atau Weberian. Kekuasaan bagi Foucault tidak dipahami dalam suatu hubungan kepemilikan sebagai properti, perolehan, atau hak istimewa yang dapat digenggam oleh sekelompok kecil masyarakat dan yang dapat terancam punah. Kekuasaan juga tidak dipahami beroperasi secara negatif melalui tindakan represif, koersif, dan menekan dari suatu institusi pemilik kekuasaan, termasuk negara. 

Kekuasaan bukan merupakan fungsi dominasi dari suatu kelas yang didasarkan pada penguasaan atas ekonomi atau manipulasi ideologi (Marx), juga bukan dimiliki berkat suatu kharisma (Weber). Kekuasaan tidak dipandang secara negatif, melainkan positif dan produktif. Kekuasaan bukan merupakan institusi atau stuktur, bukan kekuatan yang dimiliki, tetapi kekuasaan merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut situasi strategis kompleks dalam masyarakat. Kekuasaan menurut Foucault mesti dipandang sebagai relasirelasi yang beragam dan tersebar seperti jaringan, yang mempunyai ruang lingkup strategis.[8]

Kekuasaan, menurut Foucault, tidak dipahami dalam konteks pemilikan oleh suatu kelompok institusional sebagai suatu mekanisme yang memastikan ketundukan warga negara terhadap negara.[9] Kekuasaan bukan sebuah mekanisme dominasi sebagai bentuk kekuasaan terhadap orang lain dalam relasi yang mendominasi yang Powerful dengan Powerless. kekuasaan harus dipahami pada contoh pertama sebagai multiplisitas hubungan kekuatan  di bidang di mana mereka beroperasi dan yang merupakan organisasi mereka sendiri; sebagai proses yang, melalui perjuangan dan konfrontasi tanpa henti, mengubah, memperkuat, atau membalikkannya[10]

Menurut Foucault memahami bagaimana kekuasaan "power must be understood in the first instance as the multiplicity of force relations immanent in the sphere in which they operate and which constitute their own organization; as the process which, through ceaseless struggles and confrontations, transforms, strengthens, or reserves them; as the support which these force relations find in one another, thus forming a chain or a system, or on the contrary, the disjunctions and contradictions which isolate them from one another and lastly, as the strategy in which they take effect, whose general design or institutional crystalization is embodied in the statxe apparatus, in the formulation of the law, in the various social hegemony." (Foucault 1990: 92-93).[11] 

Yang artinya dalam Bahasa Indonesia "kekuasaan harus dipahami pertama-tama sebagai multiplisitas hubungan kekuatan yang imanen dalam bidang di mana mereka beroperasi dan yang merupakan organisasi mereka sendiri; sebagai proses yang, melalui perjuangan dan konfrontasi tanpa henti, mengubah, memperkuat, atau mencadangkannya; sebagai dukungan yang ditemukan hubungan kekuatan ini satu sama lain, sehingga membentuk rantai atau sistem, atau sebaliknya, disjungsi dan kontradiksi yang memisahkan mereka satu sama lain dan terakhir, sebagai strategi di mana mereka berlaku, yang desain umumnya atau kristalisasi institusional diwujudkan dalam aparatur negara, dalam perumusan hukum, dalam berbagai hegemoni sosial." (Foucault 1990: 92-93).

Dalam bukunya The History of Sexuality Vol. I, Foucault menunjukkan ada lima proposisi mengenai apa yang dimaksudnya dengan kekuasaan, yakni (1990:94-95):

A. Kekuasaan bukan sesuatu yang didapat, diraih, digunakan, atau dibagikan sebagai sesuatu yang dapat digenggam atau bahkan dapat juga punah; tetapi kekuasaan dijalankan dari berbagai tempat dari relasi yang terus bergerak.

B. Relasi kekuasaan bukanlah relasi struktural hirarkhis yang mengandaikan ada yang menguasai dan yang dikuasai.

C. Kekuasaan itu datang dari bawah yang mengandaikan bahwa tidak ada lagi distingsi binary opositions karena kekuasaan itu mencakup dalam keduanya.

D. Relasi kekuasaan itu bersifat intensional dan non-subjektif.

E. Di mana ada kekuasaan, di situ pula ada anti kekuasaan (resistance). Dan resistensi tidak berada di luar relasi kekuasaan itu, setiap orang berada dalam kekuasaan, tidak ada satu jalan pun untuk keluar darinya.[12]

5. Keterkaitan ketimpangan gender dan relasi kuasa terhadap pelecehan seksual

Pelecehan seksual sangat melekat dengan adanya korban dan pelaku. Yang dimana biasanya seseorang yang dirugikan adalah sebagi korban. Dan biasanya orang yang menjadi korban pelecehan seksual adalah kaum perempuan. Kekerasan seksual adalah segala tindakan berupa ucapan, perbuatan yang kurang sopan seperti memaksa korban untuk menghasratkan nafsunya.

Perbuatan yang didapat dalam pelecehan seksual suatu perbuatan yang memiliki aspek tersebut . Terdapat 2 (dua) aspek yaitu: 1) aspek pemaksaan yang berarti tidak akan dan tidak adanya suatu persetujuan dari salah satu pihak atau yang biasa disebut dengan korban; 2) korban tidak mampu atau bahkan belum memberikan persetujuan saat kekerasan seksual itu terjadi. Menurut Pasal 1 RUU PKS kekerasan seksual adalah "setiap perbuatan yang merendahkan, menghinakan, menyerang dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang mengakibatkan penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, dan kerugian secara ekonomi, sosial budaya maupun politik"[13]

Dalam studi kasus yang dilampirkan oleh "Suarajawatengah.id" Pimpinan perguruan tinggi di jateng lakukan pelecehan seksual ke mahasiswa. yang isinya adalah " Menurutnya, korban dari kasus tersebut cukup banyak, berasal dari mahasiswa yang penerima kuliah bidik misi, kemudian seolah-olah ditekan dan diintimidasi. " hal ini berarti dalam aspek tersebut pelecehan seksual itu benar, karena ketidakmampuan dalam hal ekonomi, karena menerima bidikmisi. Hal itu dilakukan oleh pimpinan perguruan tinggi yang menyalahgunakan kekuasaan dan mengancam mahasiswa yang tidak mampu. Ini merupakan yang dinamakan kejahatan kerah putih (White collar criminal) penjahat ini dikenal sebagai elite karena memiliki status sosial yang tinggi di dalam masyarkat (lingkungan kampus). Pada umumnya mereka memiliki jabatan dalam pekerjaan dan ahli dibidangnya. Oleh karena itu kejahatan ini telah menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya.[14]

Kesimpulan

Pelecehan seksual diartikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang dapat dikatakan posisinya lebih dominan/ mempunyai kekuasaan pada lingkungan tersebut. Tindakan tersebut tidak di khendaki oleh salah satu pihak yaitu korban. Kekerasan Seksual terjadi karena adanya paksaan ,ancaman, intimidasi dari salah satu pihak.. Para pelaku Pelecehan seksual kebanyakan adalah orang orang yang mempunyai kuasa yang tinggi.

 

Daftar Pustaka

Jayani.H.D.(2022). Kekerasan seksual di lingkungan Pendidikan terus terjadi,ini datanya.

Andini.D. S. et,al. (2022). Tinjauan Kriminologi mengenai ketimpangan relasu kuasa dan relasi gender dalam kasus kekerasan seksual. Hal.2280-2281

KBBI. Ketimpangan.

Dalem. N. D. (2012).  Faktor-faktor yang mempengaruhi bias gender penggunaan kontrasepsi pada pasangan usia subur di desa dawan kaler kecamatan dawan klungkung. Hal 97

Nugroho. A. et.al.(2016).Relasi kuasa dalam strategi pertahanan di desa prigelan. Hal.2.

Kurnianingsi. S. (2003). Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan di tempat kerja. Hal 117.

Kamahi. U. (2017) Teori Kekuasaaan Michel Foucault Tantangan Bagi Sosiologi Politik. Hal . 118

Hisyam. J.C. (2018) Perilaku Menyimpang tinjauan Sosiologis" Hal. 75

Raho. B (2021). Sosiologi Modern Edisi Revisi. Hal 224

Lemert. C. (2017). Social Theory The Multicultural, Global, And Classic Readings

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun