Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan bahkan pembunuhan terhadap anak kandung, menjadi bayangan gelap yang merayap di antara dinding-dinding rumah tangga.
Tidak sekadar tragedi individual, fenomena ini mencuat ke publik dan perlu menjadi perhatian yang serius.
Lantas, apa yang mendorong manusia melakukan perbuatan keji terhadap orang-orang terkasih?
Beberapa pekan terakhir ini, kita dikejutkan dengan peristiwa pembunuhan terhadap anak kandung sendiri, dan KDRT masih terjadi di beberapa wilayah di Negeri Kita tercinta ini.
Dikutip dari detikNews.Com, Aksi keji seorang Ayah "Panca Darmansyah", 41 tahun, membunuh empat anaknya di Jagakarsa, Jakarta Selatan (Jaksel).
Menurut informasi, ke-empat korban, dibekap oleh tangan sang ayah kandung sendiri di kamar. Setelahnya mereka ditemukan tewas, berjejeran di atas kasur.
"Polisi menyebut Panca membekap anaknya selama 15 menit. Pembunuhan dilakukan dari anak yang paling kecil. Para korban diketahui berinisial VA (6), SP (4), AR (3), dan AS (1)."
Pada tempat yang sama, dikabarkan juga pelaku telah melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap istrinya, hingga saat ini sang istri tengah menjalani proses pemulihan di rumah sakit.
Peristiwa tersebut, menggugah rasa kemanusiaan kita untuk menelusuri, apa motif terselubung di balik pembunuhan anak dan KDRT, yang saat ini ramai diberitakan.
Sebuah pandangan terperinci mengenai faktor-faktor pemicu pembunuhan anak dan KDRT menuntun kita menelusuri lorong-lorong kompleks masyarakat kita.
Faktor sosial, dengan segala tatanan norma dan nilai, membentuk kisi-kisi dimana ketidaksetaraan dan kekerasan menjadi tumbuh subur.
Masyarakat yang masih terjebak dalam norma patriarki seringkali menunjukkan tingkat KDRT yang lebih tinggi, mengakar dalam pandangan bahwa kekerasan adalah wujud kontrol dan kekuasaan.
Melangkah lebih jauh, aspek budaya merasuki perilaku manusia. Apakah ini hasil dari ketidakmampuan kita untuk menilai peran perempuan dan anak-anak dalam masyarakat, ataukah gejala dari beban tradisional yang mewariskan pola perilaku beracun?
Budaya yang menghargai ketegasan dan ketidaksetujuan sebagai bentuk lemah, terkadang mengantar individu kepada jalan yang kelam.
Sementara itu, landasan psikologis pelaku menjadi pusat perhatian.
Mengapa seseorang dapat melampaui batas kemanusiaan, bahkan terhadap anggota keluarganya sendiri?
Psikologi kekerasan domestik mengungkapkan peran penting stres, trauma masa lalu, dan kurangnya keterampilan penyelesaian konflik.
Memahami alur pikiran pelaku adalah langkah kunci untuk merancang pendekatan pencegahan yang efektif.
Terangkai dalam serangkaian pertanyaan etis dan hukum, faktor-faktor ini menjadi pusat penelitian dalam upaya mencegah tragedi berulang.
Bagaimana kita dapat membentuk masyarakat yang lebih aman, yang mengakui bahwa kekerasan adalah bentuk kelemahan, bukan kekuatan?
Bagaimana hukum dapat berperan sebagai penjaga yang efektif dan bukan sekadar pelayan formalitas?
Mengurai motif dan faktor pemicu ini bukan hanya tanggung jawab individu, melainkan tugas bersama sebagai masyarakat.
Untuk itu, perlu, memberikan perhatian khusus pada lapisan-lapisan gelap yang mewarnai realitas KDRT dan pembunuhan anak, kita dapat berharap bahwa cahaya keadilan dan kesetaraan akan menyinari negeri kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H