Jejak Kolonial dalam Gaya Arsitektur
Arsitektur kolonial Belanda di Indonesia bukan hanya menciptakan bangunan fungsional, tetapi juga menyisipkan simbolisme yang mendalam.
Bangunan-bangunan tersebut seolah-olah berbicara tentang hubungan antara penguasa dan yang dikuasai, antara penjajah dan penduduk pribumi.
Gaya arsitektur ini menciptakan perbedaan yang tajam antara bangunan Belanda dan bangunan pribumi, mencerminkan hirarki sosial yang ada pada masa itu.
Salah satu contoh yang mencolok adalah Lawang Sewu di Semarang. Bangunan ini, yang awalnya dibangun sebagai kantor pusat perusahaan kereta api Hindia Belanda, sekarang menjadi salah satu ikon kota Semarang.
Lawang Sewu, yang diterjemahkan secara harfiah sebagai "seribu pintu," memiliki pintu-pintu besar dan jendela-jendela tinggi yang menciptakan kesan megah.
Namun, di balik keindahannya, bangunan ini menyimpan kisah kelam. Saat Jepang menguasai Indonesia selama Perang Dunia II, Lawang Sewu digunakan sebagai penjara dan tempat penyiksaan, mengingatkan kita pada kompleksitas jejak sejarah yang tersembunyi di dalam dinding-dinding megahnya.
Identitas Bangsa yang Terpatri dalam Batu
Saat Indonesia meraih kemerdekaannya pada tahun 1945, bangunan-bangunan kolonial Belanda tidak lenyap begitu saja. Sebaliknya, mereka menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa yang baru lahir.
Bangunan-bangunan ini menjadi saksi bisu dari perjuangan yang dilakukan oleh para pahlawan nasional dalam merebut kemerdekaan.
Monumen Nasional atau yang akrab disebut Monas di Jakarta adalah contoh yang sangat nyata.