Mohon tunggu...
Irwan Sabaloku
Irwan Sabaloku Mohon Tunggu... Editor - Penulis

"Menulis hari ini, untuk mereka yang datang esok hari"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melodi Kemerdekaan: Harmoni dan Disonansi dalam Rentang Kolonial Belanda

7 Desember 2023   01:46 Diperbarui: 7 Desember 2023   02:02 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah Indonesia, tanah yang subur dengan warna-warni keberagaman, terbentang dalam melodi kemerdekaan yang penuh dengan harmoni dan disonansi.

Rentang waktu yang panjang memperkenalkan kita pada babak bersejarah yang tidak terpisahkan dari memori kolektif, yaitu masa kolonialisme Belanda.

Melalui sorotan lensa sejarah, kita dapat memetakan lanskap perjuangan, menggali harmoni dalam perbedaan, dan meretas disonansi yang melekat pada pita hitam putih sejarah Nusantara.

Pada awal abad ke-17, Belanda mendarat di kepulauan rempah-rempah ini dengan cita-cita perdagangan.

Melodi pertama kolonialisme Belanda menggema dalam ekspedisi ke seluruh pelosok Nusantara.

Gagalnya Upaya pertama mereka untuk mengendalikan Maluku melalui Perjanjian Bungaya di Sulawesi, hanyalah prolog dari sebuah narasi panjang yang penuh dengan kekuasaan, eksploitasi, dan perlawanan.

Begitu meresapnya kolonialisme, ia membentuk notasi sosial, ekonomi, dan politik yang menyusup dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Harmoni tercipta dalam bentuk hubungan dagang yang berkembang, tetapi disonansi muncul saat kekayaan alam Indonesia dieksploitasi tanpa ampun.

Perdagangan rempah-rempah, terutama cengkih dan lada, menjadi simbol dari kekayaan yang diinginkan Belanda.

Di samping itu, musik kolonialisme memainkan melodi ketidaksetaraan. Kelas sosial dibangun di atas dasar etnisitas dan warna kulit, menciptakan hierarki yang menyengsarakan sebagian besar penduduk pribumi.

Ketidaksetaraan ini menjadi salah satu disonansi yang tak terelakkan, memerangkap banyak jiwa dalam ketidakadilan sejarah.

Rentang waktu tersebut melahirkan pahlawan yang melalui keberanian mereka menorehkan notasi perlawanan dalam partitur sejarah.

Dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, Perang Diponegoro menjadi simbol penolakan terhadap penjajahan, memecah keheningan malam sejarah dengan denting senjata dan jeritan kebebasan.

Tetapi, meskipun berani dan penuh semangat, melodi perlawanan ini seringkali terjerat dalam pengulangan siklus ketidakadilan dan penindasan.

Pada abad ke-20, melodi perjuangan mencapai klimaksnya. Gema proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, merupakan simbol harapan dan kemenangan.

Namun, tidak dapat dihindari, bahwa harmoni ini diikuti oleh disonansi ketika Belanda mencoba untuk merebut kembali kendali.

Perang Kemerdekaan Indonesia, atau yang dikenal sebagai Revolusi Nasional, menjadi babak akhir dari melodi kemerdekaan ini.

Di tengah-tengah melodi perjuangan, terdapat lirik tragis yang melibatkan perpecahan dan pertumpahan darah.

Sengitnya pertempuran di berbagai front menghasilkan ketegangan yang menghiasi melodi kemerdekaan.

Kedua belah pihak, baik Indonesia maupun Belanda, menari dalam cengkeraman masa lalu yang sulit dipisahkan.

Pada tahun 1949, melodi kemerdekaan mencapai koda dengan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Ini adalah titik balik yang menghentikan disonansi berkepanjangan dan membuka lembaran baru dalam buku sejarah Indonesia.

Harmoni kemerdekaan terus berkumandang, tetapi liriknya diwarnai oleh kenangan pahit dan luka-luka yang belum sembuh.

Masa kolonial Belanda menyisakan bekas yang dalam dalam budaya, bahasa, dan politik Indonesia.

Belajar dari melodi kemerdekaan ini adalah memahami bahwa sejarah tidak hanya tentang pemenangan dan kekalahan, tetapi juga tentang pengaruh yang abadi dan perubahan yang dihasilkan oleh notasi-notasi yang dilemparkan oleh kolonialisme.

Pentingnya melihat sejarah dengan mata yang kritis adalah untuk merentangkan jembatan antara masa lalu dan masa kini.

Bagaimana melodi kemerdekaan itu membentuk identitas bangsa? Bagaimana perlawanan dan disonansi masa lalu merajut jalinan kisah yang menuntun kita pada pencerahan di masa depan?

Mengenang melodi kemerdekaan tidak hanya tentang nostalgia atau penghormatan terhadap para pahlawan. Ini adalah panggilan untuk menjaga harmoni dan menyelesaikan disonansi yang masih tersisa.

Kita harus memahami bahwa sejarah bukanlah cerita yang terpencil di buku pelajaran, melainkan kehidupan yang menentukan jalannya bangsa.

Harmoni dan disonansi kolonial Belanda di Indonesia bukan hanya bagian dari masa lalu, tetapi tetap membawa akibat hingga saat ini.

Pergulatan antara identitas lokal dan pengaruh asing, ketidaksetaraan sosial, dan perpecahan etnis masih dapat kita rasakan.

Sebagai anak-anak melodi kemerdekaan ini, kita memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan melodi tersebut dengan memastikan bahwa harmoni terus bergema dan disonansi dapat diatasi.

Dengan mengenang melodi kemerdekaan ini, kita harus berkomitmen untuk terus berjuang demi mewujudkan Indonesia yang adil, berdaulat, dan merdeka secara seutuhnya. Ini bukan hanya tugas pemerintah atau sejarawan, tetapi tanggung jawab kita semua sebagai bagian dari orkestra bangsa ini.

Dengan melodi kemerdekaan yang terus berkumandang, mari kita jadikan sejarah sebagai sumber inspirasi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

Melodi kemerdekaan bukan hanya kenangan, tetapi juga arahan untuk melangkah maju menuju puncak harmoni yang sempurna dalam keberagaman Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun