Perubahan-perubahan ini terlihat seperti sirip ikan di dalam samudera, tidak selalu terlihat, tetapi membentuk karakter dasar.
Menilik lebih dekat, kita menyadari bagaimana pencitraan imaji keagungan kolonialisme Belanda telah meresap dalam budaya, pendidikan, dan bahasa.
Bangunan-bangunan monumental, jalan-jalan raya yang dirancang rapi, dan bahasa-bahasa yang diimpor memberikan lapisan-lapisan budaya baru yang melapisi kerangka lokal.
Semua itu adalah kisah perjalanan yang tak terhitung jumlahnya, dari bangunan khas Belanda hingga universitas-universitas modern yang menjadi warisan kolonial di Nusantara.
Namun, dalam penelusuran ini, terdapat juga sisi gelap. Bagaimana sistem tanam paksa, atau Cultuurstelsel, menguras kekayaan alam Nusantara dan memiskinkan rakyat jelata.
Kejamnya sistem tersebut membawa kita kepada pertanyaan yang mendalam: apakah kemajuan ekonomi yang dibawa oleh kolonialisme selalu setara dengan kesejahteraan masyarakat?
Voyage of Shadows ini juga mengajak kita menggali akar dampak sosial kolonialisme, khususnya dalam hal struktur sosial yang dibentuk oleh penguasa kolonial.
Masyarakat adat yang memiliki struktur yang kuat dan berfungsi, mendapati diri mereka terperangkap dalam jaringan yang baru dan seringkali tidak adil.
Kelas sosial, yang sebelumnya terorganisir berdasarkan tradisi dan kepemimpinan lokal, mulai merasakan tekanan dari model-model yang diterapkan oleh pemerintah kolonial.
Bagian yang tak terpisahkan dari "Voyage of Shadows" adalah perjalanan menuju kemerdekaan.
Seiring berjalannya waktu, semangat kemerdekaan merembes dan mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-20.