Pergantian pemilik dari pemerintah kolonial Belanda ke pemerintah Indonesia tidak hanya mencerminkan perubahan struktural fisik gedung, tetapi juga perubahan identitas dan makna yang tersemat di dalamnya.
Gedung Aniem tidak hanya menjadi saksi bisu perjalanan sejarah, tetapi juga bagian dari keseharian masyarakat Surabaya.
Saat ini, gedung yang pernah menjadi markas perusahaan listrik tersebut berfungsi sebagai kantor PLN.
Pergeseran fungsional ini, dari pusat kebijakan kolonial menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari sebagai pusat pelayanan listrik, menciptakan dimensi baru dalam narasi Gedung Aniem.
Dalam beberapa dekade terakhir, keberadaan Gedung Aniem menjadi pusat perhatian para pengamat sejarah dan pecinta arsitektur.
Keunikan desainnya yang mencerminkan estetika zaman kolonial Belanda mengundang decak kagum, sementara keberlanjutan fungsinya sebagai kantor PLN memberikan kontrast menarik antara masa lalu dan masa kini.
Gedung ini, dalam esensinya, adalah titik temu antara dua zaman yang berbeda namun saling terkait.
Mengunjungi Gedung Aniem tidak hanya sebatas melihat bangunan fisiknya, tetapi juga meresapi ruang dan waktu yang diwakilinya.
Interior gedung yang mungkin telah mengalami beberapa perubahan tetap menyimpan aura masa lalu.
Dinding-dindingnya menjadi saksi bisu pertemuan, keputusan, dan peristiwa bersejarah. Menjejakkan kaki di dalamnya, kita dapat merasakan getaran sejarah yang masih hidup dan bernyanyi dalam setiap corak keramik dan langit-langit yang tinggi.
Gedung Aniem bukan hanya sekadar "batu bata dan semen," tetapi sebuah entitas hidup yang terus mengalir dengan sejarah.