Setiap tanggal 15 Januari, pemerintah bersama masyarakat di Propinsi Sumatera Barat, khususnya Kota Payakumbuh dan Kabupaten 50 Kota, merayakan peristiwa Situjuh Batur. Meski tidak masuk agenda nasional, tapi tidak mengurangi kemeriahan maupun kekhidmatannya.
Puncak peringatan dilakukan dengan menggelar upacara di lapangan nagari Situjuh Batur. Namun hari-hari sebelumnya, kegiatan lain biasanya sudah diadakan dan salah satu acara yang pernah saya ikuti adalah napak tilas yang mengambil start dari Lapangan Poliko (sekarang Balai Kota Payakumbuh) dan finish di nagari Situjuh.
Meski sudah puluhan tahun lalu, saya masih tetap ingat rasanya ikut napak tilas. Meski dengkul terasa mau putus dan kulit terbakar matahari, tapi karena beramai-ramai membuat saya mampu berjalan dari pagi sampai sore hari. Paling mengasyikan adalah saat makan di desa tertentu yang jadi tempat penyedia konsumsi.Â
Saya duduk di bawah pohon makan nasi yang dibungkus daun dengan lauk ikan goreng dan sambal sekedarnya. Namun karena merasa sebagai pejuang gerilya, maka jatah itu kami makan dengan lahap dan hanya tersisa daunnya.
**
Peristiwa Situjuh Batur sendiri terjadi 72 tahun lalu tepatnya tanggal 15 Januari 1949. Saat itu Republik Indonesia sedang berada di titik nadir. Ibukota Yogyakarta dikuasai Belanda dan Presiden, Wakil Presiden beserta beberapa menteri telah ditangkap.Â
Meski sebelum ditangkap, Presiden Soekarno telah memberikan mandat kepada Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera, tapi pemerintahan secara gerilya itu belum berjalan dengan efektif.Â
Pada masa kritis itu, beberapa pemimpin PDRI kemudian berencana melakukan rapat untuk menyusun strategi dan koordinasi yang masih sangat kurang.Â
Lokasi rapat ditentukan berada di nagari Situjuh Batur tepatnya di sebuah surau milik orang tua Mayor Makinuddin HS (Wedana Payakumbuh) yang berada di Lurah Kincia (kincir). Sehabis rapat para peserta yang sebahagian besar berasal dari luar daerah tidur di surau dan rumah di lembah tersebut.Â
Dini hari, menjelang waktu subuh, tentara Belanda mengepung dan menembaki surau dan rumah di lembah sempit tersebut. Para peserta rapat yang sedang tidur segera bangun dan berusaha bersembunyi dari hujan tembakan.Â
Sebagian lagi mencoba melawan dengan membalas tembakan, namun tidak mampu menghalau kepungan. Posisi mereka terjepit dalam lembah yang sempit sedangkan serdadu Belanda berada di ketinggian dengan senjata lengkap.Â
Setelah penyergapan, tentara Belanda plus Belanda hitam-nya kembali ke Payakumbuh. Serangan itu menewaskan sebanyak 69 orang pejuang antara lain Chatib Sulaeman (Ketua MPRD), Arisun St. Alamsyah (Bupati 50 Kota), Letkol Munir Latif (Komandan Militet Painan), Mayor Zainuddin(Komandan Batalyon Singa Harau), Kapten Thantawi dan Letnan Azinar dari Batalyon Merapi.Â
***
Setelah peristiwa tersebut, muncullah pertanyaan kenapa Belanda bisa mengetahui rapat yang direncanakan secara rahasia tersebut. Dugaan mulai muncul dan desas-desus kemudian berkembang tentang adanya mata-mata. Komandan militer yang bertanggung jawab atas keamanan menuduh Letnan Kamaluddin alias Tambiluak.Â
Letnan Kamaluddin dikenal di kampungnya dengan julukan Tambiluak, sejenis serangga berwarna hitam kekuningan yang terbangnya kencang. Ia adalah pemain sepak bola dan larinya memang kencang sehingga ia dijuluki demikian.
Ia dituduh membocorkan tempat rahasia rapat kepada pihak Belanda. Komandan Militer Sumatera Barat, Letkol Dahlan Ibrahim kemudian memerintahkan untuk menangkap Letnan Kamaluddin dan memvonisnya dengan hukuman mati.Â
Beberapa perwira bersama masyarakat kemudian mencarinya dan suasana hukum zaman revolusi yang sifatnya tumpas kelor pun berlaku. Anak istri, ipar dan saudaranya Letnan Muda Djalaluddin ikut dibunuh atas tuduhan pengkhianat yang ditempelkan kepadanya.Â
Letnan Kamaluddin sendiri ditangkap di Gadut, sekira 30 km dari Situjuh Batur. Ia dibawa ke sebuah rumah kosong dan saat diinterogasi, karena sudah ada niat untuk membunuhnya, maka salah seorang kemudian menebaskan parang yang mengenai kepalanya tapi tidak tepat sasaran.Â
Ia melawan dan berhasil lari ke daerah Ibuh (sekarang merupakan pasar tradisional Kota Payakumbuh), yang merupakan garis demarkasi antara Belanda dengan Republik.
Meski terluka parah, ia tidak pernah berobat dan hanya melilitkan handuk kumal di kepalanya, karena khawatir akan keselamatan jiwanya. Karena sangat menderita, akhirnya ia tidak tahan juga dan keluar dari persembunyian menemui Mayor Nurmatias di nagari Koto Nan Ampek, untuk meminta perlindungan.Â
Oleh Mayor Nurmatias ia disarankan untuk berobat ke rumah sakit di Kota Payakumbuh. Akan tetapi ia menolaknya mentah-mentah dan bersumpah bersedia mati dalam keadaan apa saja asal tidak pergi ke kota, karena hal itu akan memperkuat tuduhan orang bahwa ia adalah mata-mata Belanda.Â
Merasa tidak mendapat perlindungan, maka Letnan Kamaluddin kemudian pergi menuju daerah Kamang (sekitar 15 km dari Kota Bukittinggi), untuk menemui Kolonel Dahlan Djambek, perwira paling senior di Sumatera Barat. Namun ditengah jalan tepatnya di Padang Tarok, ia dicegat oleh anak buahnya sendiri dan kemudian dibunuh.
****
Sampai sekarang, cap pengkhianat terhadap Letnan Kamaluddin tidak pernah hilang. Tidak ada bukti saat itu yang dapat dipergunakan untuk menimpakan kesalahan kepadanya, kecuali hanya tuduhan.Â
Sampai sekarang juga tidak ada bukti yang menyatakan bahwa ia adalah mata-mata Belanda. Penelitian terhadap berkas-berkas milik Belanda juga tidak menemukan jejak Letnan Kamaluddin.
Jika Letnan Kamaluddin benar mata-mata Belanda maka pilihan paling mudah baginya adalah berobat ke rumah sakit di kota. Bayangkan saja jika kita adalah Letnan Kamaluddin, yang anak istri dan keluarganya telah dihabisi, maka menyeberang pada pihak Belanda adalah pilihan paling masuk akal.Â
Apalagi Republik saat itu betul-betul di titik nadir, hampir tidak punya peluang karena ibu kota Yogyakarta dan Bukittinggi telah direbut Belanda. Presiden dan Wakil Presiden telah ditawan dan PDRI sendiri juga masih kocar-kacir. Tentunya rasa nasionalisme sebagai pejuang yang menyebabkan ia tetap bertahan dan tidak berubah haluan.
Pada akhirnya ia mati juga ditangan sesama pejuang yang membela Republik. Kematiannya tak ada bedanya dengan orang lain yang dituduh mata-mata karena kebetulan dalam tasnya ditemukan cermin. Atau juga seperti nasib orang yang sial karena kebetulan memakai kaos kaki biru, baju putih dengan kancing merah.Â
Jangankan Letnan Kamaluddin, sekaliber Kolonel Nasution juga pernah dituduh sebagai antek NICA. Suasana zaman revolusi yang saling curiga memang menyebabkan tuduhan tanpa dasar dengan mudah dipercaya.Â
*****
Revolusi kemerdekaan telah lama berlalu meski jejaknya sampai sekarang masih kita rasakan. Mungkin karena warisan itu jugalah yang membuat kita sampai sekarang sangat mudah menuduh seseorang atau sekelompok yang berbeda pandangan sebagai pengkhianat, tidak nasionalis dan bukan Pancasilais. Untung saja hukum zaman revolusi telah berlalu, kalau saja masih ada, sungguh tak terbayangkan akibatnya.
Note:
Nagari : wilayah administratif dibawah kecamatan yang dulunya merupakan kesatuan masyarakat adat dengan beberapa suku.
Surau : tempat ibadah umat Islam yang ukurannya lebih kecil dari mesjid.
Belanda hitam : serdadu Belanda yang direkrut dari pribumi.
Sumber:
Audrey Mc. Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi, Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998
Mestika Zed, Somewhere in the Jungle, Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Sebuah Mata Rantai Sejarah yang TerlupakanÂ
Historia.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H