****
Sampai sekarang, cap pengkhianat terhadap Letnan Kamaluddin tidak pernah hilang. Tidak ada bukti saat itu yang dapat dipergunakan untuk menimpakan kesalahan kepadanya, kecuali hanya tuduhan.Â
Sampai sekarang juga tidak ada bukti yang menyatakan bahwa ia adalah mata-mata Belanda. Penelitian terhadap berkas-berkas milik Belanda juga tidak menemukan jejak Letnan Kamaluddin.
Jika Letnan Kamaluddin benar mata-mata Belanda maka pilihan paling mudah baginya adalah berobat ke rumah sakit di kota. Bayangkan saja jika kita adalah Letnan Kamaluddin, yang anak istri dan keluarganya telah dihabisi, maka menyeberang pada pihak Belanda adalah pilihan paling masuk akal.Â
Apalagi Republik saat itu betul-betul di titik nadir, hampir tidak punya peluang karena ibu kota Yogyakarta dan Bukittinggi telah direbut Belanda. Presiden dan Wakil Presiden telah ditawan dan PDRI sendiri juga masih kocar-kacir. Tentunya rasa nasionalisme sebagai pejuang yang menyebabkan ia tetap bertahan dan tidak berubah haluan.
Pada akhirnya ia mati juga ditangan sesama pejuang yang membela Republik. Kematiannya tak ada bedanya dengan orang lain yang dituduh mata-mata karena kebetulan dalam tasnya ditemukan cermin. Atau juga seperti nasib orang yang sial karena kebetulan memakai kaos kaki biru, baju putih dengan kancing merah.Â
Jangankan Letnan Kamaluddin, sekaliber Kolonel Nasution juga pernah dituduh sebagai antek NICA. Suasana zaman revolusi yang saling curiga memang menyebabkan tuduhan tanpa dasar dengan mudah dipercaya.Â
*****
Revolusi kemerdekaan telah lama berlalu meski jejaknya sampai sekarang masih kita rasakan. Mungkin karena warisan itu jugalah yang membuat kita sampai sekarang sangat mudah menuduh seseorang atau sekelompok yang berbeda pandangan sebagai pengkhianat, tidak nasionalis dan bukan Pancasilais. Untung saja hukum zaman revolusi telah berlalu, kalau saja masih ada, sungguh tak terbayangkan akibatnya.
Note:
Nagari : wilayah administratif dibawah kecamatan yang dulunya merupakan kesatuan masyarakat adat dengan beberapa suku.