Kalau ditanya apakah sudah boleh berlibur atau belum, saya akan jawab sudah. Berlibur adalah hak asasi dan tak boleh dilarang. Lho, ini kan lagi pandemi Covid 19, PSBB atawa transisi ? Biar saja, yang penting caranya. Percuma juga kamu liburan, kan tempat wisata dan hotel tutup !. Silahkan saja ditutup, memang kamu kira saya mau kesana ?.
Sudah berbulan-bulan lamanya kami sekeluarga ngumpul di rumah, tak kemana-mana kecuali untuk kebutuhan mendesak seputar urusan dapur. Sesuai imbauan pemerintah maka saya kerja di rumah alias WFH, si abang yang kelas 4 SD belajar lewat daring, sedangkan "mantan pacar", sekarang sudah  jadi nyonya rumah mengasuh si adek yang masih balita sekaligus mengurus semua keperluan keluarga.Â
Meski stay at home itu menyenangkan dan mengirit biaya, namun karena kebiasaan kami yang suka jalan sebelum ada corona, maka lama-lama jadi mumet juga. Maka saat fase new normal datang muncul pula harapan untuk kembali ke hobi lama. Sebelumnya kami selalu pergi ke tempat wisata mainstream, kulineran di resto kondang dan menginap di hotel berbintang. Kali ini harus diubah, selain karena vaksin corona belum ada, kantong juga masih cekak karena THR tidak full diterima.Â
Akhirnya, setelah mengingat dan menimbang kesana kesini, atas bawah kiri kanan, didapat jua pilihan. Sejujurnya, bukan ide orisinal saya tapi nemu di chanel youtube @herlina basri yang menceritakan lezatnya gulai kambing Mak Sali di Pasar Sungayang, Kabupaten Tanah Datar. Kayaknya mantap habis dan bikin penasaran, kok saya yang notabene punya kampung disana bisa tidak tahu ?. Selain itu saya sangat yakin kalau tempatnya bukan jalur utama wisatawan, jadi aman dan tenanglah pokoknya.
Singkat cerita, pada hari Minggu, saya dan istri serta kedua jagoan saya berangkat dari Kota Padang menuju ke Kota Batusangkar, ibu kota Kabupaten Tanah Datar. Sekitar dua jam sampailah di Batusangkar dan saya ambil jalan menuju Lintau. Sawah yang menghijau hingga ke kaki bukit seolah menyambut kedatangan kami, para wisatawan masa PSBB transisi. Tidak lama kami pun sampai di "Nagari" Sungayang, tepatnya di depan balai atau pasar nagari.
Saya dan si abang turun duluan, dengan tujuan untuk mencari warungnya, maklum masih "gelap" keberadaannya. Setelah memasuki pasar kecil yang tidak ada satupun pedagang dan pembelinya, akhirnya saya temukan lokasinya. Kamu mungkin heran kenapa tak ada orang di pasarnya ?. Pasar nagari di Sumatera Barat hanya buka sekali seminggu dan tempat yang saya kunjungi bukanya pada hari Senin, jadi wajar saat itu sepi.
Tanpa pikir panjang lagi saya langsung telpon isteri yang masih di mobil bersama si adek dan menyuruhnya jalan lurus sekitar 50 meter menuju warung. Kami pesan gulai kambing yang kelihatan pedas dan segera makan siang.Â
Meski kelihatan pedas karena kuahnya yang berwarna merah menyala, namun saat masuk ke mulut justru rasa rempah-rempah yang lebih kentara sehingga daging kambing yang dimasak sampai empuk makin  berasa gurih. Justru pedasnya berasal dari sambal jengkol cabe hijau yang tersedia gratis di meja.Â
Tak cukup sepiring, saya minta tambuah (nasi tambah dalam piring kecil) sedangkan si abang yang memang penggemar gulai kambing malah sampai nambah dua kali dan piringnya licin tak bersisa. Benar-bena mak nyuss (mengikuti gaya almarhum Bondan Winarno) atau lazzis (menurut Benu Buloe). Tak percaya ? Ini penampakannya :
Hanya kami pembeli dari luar, sisanya warga di dekat pasar, semuanya kenal dan akrab dengan Mak Sali, pelayan, juru masak merangkap bos rumah makan. Jangan keliru ya, meski dipanggil Mak tapi Mak Sali bukan perempuan, namun lelaki sejati. Mak itu singkatan dari Mamak yang artinya Paman. Orang Minang lazim memanggil mamak ketimbang panggilan bapak karena kesannya lebih akrab.