Sejak tahun 1995, tepatnya tanggal 23 April setiap tahunnya, diperingati sebagai Hari Buku Internasional. Pemilihan tanggal tersebut adalah untuk memperingati hari kematian Miguel de Cervantes dan juga hari kematian William Shakespeare dan beberapa penulis besar lainnya.
Indonesia juga mempunyai Hari Buku Nasional yang jatuh pada tanggal 17 Mei dan dicetuskan pada tahun 2002. Pemilihan tanggal tersebut adalah untuk memperingati berdirinya Perpustakaan Nasional pada tanggal 17 Mei 1980.
Meskipun orang sudah lama mengenal buku namun hari peringatannya belum berlangsung lama. Karena itu banyak yang sebetulnya tidak tahu (termasuk Indonesia) mengenai Hari Buku Internasional dan Hari Buku Nasional.Â
Ditambah lagi fakta bahwa hanya sedikit orang yang memiliki minat baca. Dikutip dari idntimes.com, Unesco mengkalkukasi bahwa angka minat baca Indonesia hanya 0,001 persen.Â
Artinya dari 1000 orang hanya 1 orang saja yang rajin membaca atau dari 265 juta penduduk maka hanya ada 265 ribu orang yang punya minat baca tinggi. Angka ini berbanding terbalik dengan angka melek huruf pada tahun 2010 yang mencapai 96,07 persen.Â
Bandingkan saja angka ini dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berjumlah 4,2 juta per 30 Juni 2019 yang digolongkan sebagai kaum terdidik dan terpelajar, maka angka minat baca masih jauh dari mencukupi.Â
Prof. Deliar Noer dalam sebuah ceramah di Universitas Andalas Padang pada tahun 1998 mengatakan bahwa Indonesia sekitar tahun 1950an merupakan salah satu produsen buku terbesar di Asia. Beliau membandingkan bahwa saat itu Malaysia hanya mampu mencapai setengah jumlah buku baru yang diterbitkan oleh Indonesia.
Namun fakta sekarang adalah kapasitas kita terus berkurang. Dikutip dari kompas.com, jumlah terbitan buku di Indonesia tergolong rendah, tidak sampai 18.000 judul buku per tahun.Â
Jumlah ini lebih rendah dibandingkan Jepang yang mencapai 40.000 judul buku per tahun, India 60.000, dan China sekitar 140.000 judul buku per tahun.
Dalam perjalanan ke sebuah kota kecil penuh sejarah, saya mendatangi perpustakaannya yang mengambil nama tokoh pers terkemuka. Meski gedungnya sudah tua, namun terjaga dengan baik.
 Saat masuk saya melihat sebuah meja baca besar yang dikelilingi oleh para pelajar yang sedang asyik dengan kegiatannya yaitu bermain game digadget mereka. Tak ada satupun buku yang terlihat di meja. Bahkan suara mereka yang riuh rendah dibiarkan saja tanpa ada teguran dari petugas disana.Â
Saya kemudian beranjak ke bagian belakang dan dibalik lemari buku kembali saya melihat sekumpulan pelajar yang asyik bermain gadget meski jumlahnya tidak sebanyak kelompok sebelumnya. Mereka tidak berisik namun tak ada satupun buku diatas meja.Â
Saat kembali ke ruang depan saya melihat seorang bapak yang sedang tekun dengan buku dihadapannya. Saat didekati ternyata ia juga sedang asyik dengan smartphonenya.Â
Lama saya perhatikan tapi tak juga buku dibacanya. Mungkin bermedsos ria lebih menggoda daripada membaca. Saat naik ke ruang atas saya melihat petugas perpustakaan dengan tingkah yang sama. Alhasil, tak ada satupun yang menggunakan pustaka sesuai fungsinya.
Sepertinya buku sudah kalah oleh gadget. Namun yang lebih memprihatinkan adalah semakin kurangnya minat untuk menjadi orang yang mencintai buku dan terjebak oleh hal praktis melalui pemcarian di internet.Â
Kita tak mau lagi bersusah payah mempelajari dari awal, lembar demi lembar, bab demi bab, tapi langsung mencari ke inti atau pokok jawaban melalui mesin pencari. Ibarat membangun rumah kita tak mau bersusah payah membuat pondasi dan tiang tapi langsung membuat atap.Â
Akhirnya pengetahuan instant lah yang didapat. Bahkan e-book juga tak ada artinya dibandingkan facebook, instagram dan sejenisnya. Ternyata gambar dan video lebih menyenangkan ketimbang pencarian akan pengetahuan tersusun dan terpercaya yang bisa didapat dengan membaca sebuah buku.
Buku adalah jendela dunia dan membaca adalah kuncinya. Dengan buku maka pengetahuan yang tersusun secara metodologis akan meningkatkan kemampuan intelektual pembacanya.
Para pemimpin bangsa dahulu sudah jelas adalah intelektual yang merengkuh dunia dengan pengetahuan yang diperoleh dari membaca. Bung Hatta sampai wafatnya memiliki 10 ribu koleksi buku dan tidak berbeda dengan Bung Karno yang juga memiliki buku yang sangat banyak. Â
Haus akan ilmu membuat kedua proklamator tidak hanya sebagai pemimpin tetapi juga pemikir intelektual. Bangsa Indonesia dan dunia internasional mengakui kedalaman ilmu mereka yang diperoleh dengan membaca.Â
Tidak mungkin dunia akan mengenal dan mengakui pemimpin yang lahir hanya dari spanduk dan baliho yang muncul saat kampanye. Tidak mungkin nasib bangsa ke depan dipercayakan pada mereka yang hanya bisa dapat informasi dari internet dan men-share-nya kepada yang lain tanpa ada sensor ilmiah.Â
Dan hilangnya minat terhadap buku adalah awal dari hilangnya ilmu dan kebudayaan sekaligus hilangnya keunggulan kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H