Saya kemudian beranjak ke bagian belakang dan dibalik lemari buku kembali saya melihat sekumpulan pelajar yang asyik bermain gadget meski jumlahnya tidak sebanyak kelompok sebelumnya. Mereka tidak berisik namun tak ada satupun buku diatas meja.Â
Saat kembali ke ruang depan saya melihat seorang bapak yang sedang tekun dengan buku dihadapannya. Saat didekati ternyata ia juga sedang asyik dengan smartphonenya.Â
Lama saya perhatikan tapi tak juga buku dibacanya. Mungkin bermedsos ria lebih menggoda daripada membaca. Saat naik ke ruang atas saya melihat petugas perpustakaan dengan tingkah yang sama. Alhasil, tak ada satupun yang menggunakan pustaka sesuai fungsinya.
Sepertinya buku sudah kalah oleh gadget. Namun yang lebih memprihatinkan adalah semakin kurangnya minat untuk menjadi orang yang mencintai buku dan terjebak oleh hal praktis melalui pemcarian di internet.Â
Kita tak mau lagi bersusah payah mempelajari dari awal, lembar demi lembar, bab demi bab, tapi langsung mencari ke inti atau pokok jawaban melalui mesin pencari. Ibarat membangun rumah kita tak mau bersusah payah membuat pondasi dan tiang tapi langsung membuat atap.Â
Akhirnya pengetahuan instant lah yang didapat. Bahkan e-book juga tak ada artinya dibandingkan facebook, instagram dan sejenisnya. Ternyata gambar dan video lebih menyenangkan ketimbang pencarian akan pengetahuan tersusun dan terpercaya yang bisa didapat dengan membaca sebuah buku.
Buku adalah jendela dunia dan membaca adalah kuncinya. Dengan buku maka pengetahuan yang tersusun secara metodologis akan meningkatkan kemampuan intelektual pembacanya.
Para pemimpin bangsa dahulu sudah jelas adalah intelektual yang merengkuh dunia dengan pengetahuan yang diperoleh dari membaca. Bung Hatta sampai wafatnya memiliki 10 ribu koleksi buku dan tidak berbeda dengan Bung Karno yang juga memiliki buku yang sangat banyak. Â
Haus akan ilmu membuat kedua proklamator tidak hanya sebagai pemimpin tetapi juga pemikir intelektual. Bangsa Indonesia dan dunia internasional mengakui kedalaman ilmu mereka yang diperoleh dengan membaca.Â
Tidak mungkin dunia akan mengenal dan mengakui pemimpin yang lahir hanya dari spanduk dan baliho yang muncul saat kampanye. Tidak mungkin nasib bangsa ke depan dipercayakan pada mereka yang hanya bisa dapat informasi dari internet dan men-share-nya kepada yang lain tanpa ada sensor ilmiah.Â
Dan hilangnya minat terhadap buku adalah awal dari hilangnya ilmu dan kebudayaan sekaligus hilangnya keunggulan kemanusiaan.