Isu kenaikan harga mi instan sempat menyedot perhatian publik beberapa waktu lalu. Betapa tidak, makanan dengan julukan "sahabat akhir bulan" ini yang setia menemani kala suka dan duka, kini harganya mulai tak seramah dulu. Kekhawatiran masyarakat mumbuncah saat harga mi instan diperkirakan melonjak hingga tiga kali lipat.
Harga mi instan di Indonesia terus mengalami kenaikan dalam satu dekade terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata harga mi instan di tanah air tumbuh 81,6 persen pada 2012-2021. Adapun, harga mi instan sebesar Rp2.626 per bungkus pada 2021. Angka ini meningkat 2,06 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar Rp2.573 per bungkus.
Kenaikan tersebut dipicu oleh harga gandum yang meningkat hingga 7,44 persen dalam setahun terakhir. Namun, akhir-akhir ini harga gandum terpantau cenderung bergerak turun dan meninggalkan level 800 dolar AS per gantang sejak 2 Agustus 2022 imbas kembali terbukanya ekspor gandum Ukraina yang selama ini tertahan akibat perang. Selain itu, naiknya harga gandum terpengaruh oleh kondisi perubahan iklim global yang menyebabkan beberapa negara, seperti Australia, Kanada, dan Amerika Serikat gagal panen.
Selama ini, mi instan kerap menjadi makanan wajib di Indonesia sejak diproduksi secara lokal pada 1969 dan menjadi bagian penting makanan bangsa (nation's diet). Dalam survei Jakpat yang dirilis pada 24 Maret 2022, mi instan menjadi bahan makanan kedua yang tidak pernah absen dari keranjang belanja bulanan masyarakat.
Simbol Nasionalisme
Errington dalam bukunya ''The Noodle Narratives'' mengatakan bahwa mi instan telah menjadi bagian dari ''siklus hidup'' kelas menengah saat mereka memulai hidup dengan anggaran rumah tangga yang kecil.
Bahkan sebagai simbol nasionalisme Indonesia, mi instan mampu menumbuhkan rasa gastronasionalisme sebagai bentuk identitas kuliner nusantara (DeSoucey 2010). Hal ini gambaran glokalisasi gandum menjadi mi instan lokal menggunakan gagasan budaya dan selera masyarakat Indonesia. Simbol "keindonesiaan" mi instan menjadi sangat melekat pada kebiasaan konsumsi masyarakat kita.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, konsumsi mi instan per kapita di Indonesia sebanyak 3,96 bungkus berukuran 80 gram setiap bulannya pada Maret 2021. Jumlah itu naik 9,09 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 3,63 bungkus per bulan. Di tengah meningkatnya konsumsi mi instan tersebut, juga diikuti dengan meningkatnya impor gandum karena merupakan formula dasar produk tersebut.
Namun, masalahnya impor gandum Indonesia terancam seret karena perang antara Rusia dan Ukraina yang tak kunjung usai. Sebab, gandum yang merupakan bahan baku utama mi instan di dalam negeri banyak diimpor dari Ukraina. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor biji gandum dan meslin dari Ukraina sebanyak 3,07 juta ton dengan nilai 919,43 juta dolar AS pada 2021.
Industri mi instan tertekan sebab Indonesia tidak memproduksi gandum yang menjadi bahan baku mi instan. Sementara, mi instan menjadi makanan yang paling banyak menghabiskan olahan gandum berupa tepung terigu. Berdasarkan data Australian Export Grains Innovation Centre (AEGIC) tahun 2018, sebanyak 55 persen tepung terigu di Indonesia digunakan untuk membuat mi instan.
Substitusi Pangan Lokal