Mohon tunggu...
Good Words
Good Words Mohon Tunggu... Penulis - Put Right Man on the Right Place

Pemerhati Bangsa

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Gastronasionalisme Mi Instan

10 Desember 2022   17:05 Diperbarui: 10 Desember 2022   17:09 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mi Instan | Sumber : pexel/thngocbich

Isu kenaikan harga mi instan sempat menyedot perhatian publik beberapa waktu lalu. Betapa tidak, makanan dengan julukan "sahabat akhir bulan" ini yang setia menemani kala suka dan duka, kini harganya mulai tak seramah dulu. Kekhawatiran masyarakat mumbuncah saat harga mi instan diperkirakan melonjak hingga tiga kali lipat.

Harga mi instan di Indonesia terus mengalami kenaikan dalam satu dekade terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata harga mi instan di tanah air tumbuh 81,6 persen pada 2012-2021. Adapun, harga mi instan sebesar Rp2.626 per bungkus pada 2021. Angka ini meningkat 2,06 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar Rp2.573 per bungkus.

Kenaikan tersebut dipicu oleh harga gandum yang meningkat hingga 7,44 persen dalam setahun terakhir. Namun, akhir-akhir ini harga gandum terpantau cenderung bergerak turun dan meninggalkan level 800 dolar AS per gantang sejak 2 Agustus 2022 imbas kembali terbukanya ekspor gandum Ukraina yang selama ini tertahan akibat perang. Selain itu, naiknya harga gandum terpengaruh oleh kondisi perubahan iklim global yang menyebabkan beberapa negara, seperti Australia, Kanada, dan Amerika Serikat gagal panen.

Selama ini, mi instan kerap menjadi makanan wajib di Indonesia sejak diproduksi secara lokal pada 1969 dan menjadi bagian penting makanan bangsa (nation's diet). Dalam survei Jakpat yang dirilis pada 24 Maret 2022, mi instan menjadi bahan makanan kedua yang tidak pernah absen dari keranjang belanja bulanan masyarakat.

Simbol Nasionalisme

Errington dalam bukunya ''The Noodle Narratives'' mengatakan bahwa mi instan telah menjadi bagian dari ''siklus hidup'' kelas menengah saat mereka memulai hidup dengan anggaran rumah tangga yang kecil.

Bahkan sebagai simbol nasionalisme Indonesia, mi instan mampu menumbuhkan rasa gastronasionalisme sebagai bentuk identitas kuliner nusantara (DeSoucey 2010). Hal ini gambaran glokalisasi gandum menjadi mi instan lokal menggunakan gagasan budaya dan selera masyarakat Indonesia. Simbol "keindonesiaan" mi instan menjadi sangat melekat pada kebiasaan konsumsi masyarakat kita.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, konsumsi mi instan per kapita di Indonesia sebanyak 3,96 bungkus berukuran 80 gram setiap bulannya pada Maret 2021. Jumlah itu naik 9,09 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 3,63 bungkus per bulan. Di tengah meningkatnya konsumsi mi instan tersebut, juga diikuti dengan meningkatnya impor gandum karena merupakan formula dasar produk tersebut.

Namun, masalahnya impor gandum Indonesia terancam seret karena perang antara Rusia dan Ukraina yang tak kunjung usai. Sebab, gandum yang merupakan bahan baku utama mi instan di dalam negeri banyak diimpor dari Ukraina. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor biji gandum dan meslin dari Ukraina sebanyak 3,07 juta ton dengan nilai 919,43 juta dolar AS pada 2021.

Industri mi instan tertekan sebab Indonesia tidak memproduksi gandum yang menjadi bahan baku mi instan. Sementara, mi instan menjadi makanan yang paling banyak menghabiskan olahan gandum berupa tepung terigu. Berdasarkan data Australian Export Grains Innovation Centre (AEGIC) tahun 2018, sebanyak 55 persen tepung terigu di Indonesia digunakan untuk membuat mi instan.

Substitusi Pangan Lokal

Konflik Rusia dengan Ukraina yang berdampak pada persediaan gandum bisa menjadi momentum bagi kebangkitan mi instan berbahan lokal guna mendukung kedaulatan pangan.

Sejak tahun 2001, pemerintah Indonesia telah mencoba mengembangkan agribisnis gandum dalam negeri; namun keberhasilannya terbatas. Pemerintah tak tinggal diam dan saat ini mencari alternatif pengganti gandum.

Kita harus tetap fokus pada filosofi dasar produksi mi instan lokal, yaitu mengombinasikan tepung terigu dengan aneka tepung lokal. Tepung terigu menjadi layaknya lokomotif yang mengandeng gerbong aneka tepung lokal yang melimpah di Indonesia tetap menggunakan komponen tepung terigu, bukan menggantinya seratus persen. Perlu beberapa karakteristik penguat mi seperti kandungan gizi, elastisitas, dan kelenturan. Pastinya akan muncul aneka karakter mi berbahan lokal, saling melengkapi agar menjadi dasar pemilihan uji preferensi masyarakat.

Mi berbahan lokal sejak pangan mi diterima secara lidah dan budaya masyarakat Indonesia, aneka upaya modifikasi dilakukan. Keberlimpahan ragam sumber karbohidrat patut dicoba. Penepungan menjadi langkah awal perakitan teknologi mi di Nusantara. Substitusi sebagian tepung terigu tak hanya berasal dari sorgum, tetapi juga dengan tepung ubi kayu/singkong, ketela rambat, jagung, waluh atau labu hingga talas. Bahkan banyak mi instan berbahan baku lokal sudah mulai diproduksi. Mi mocaf ataupun mikong, misalnya, mewakili mi instan berbahan campuran terigu dan tepung ubi kayu. Sumber daya singkong yang melimpah dan teknologi tepung Mocaf (Modified Cassava Flour) menyediakan bahan dasarnya.

Hal yang perlu ditekankan, upaya subsitusi bahan baku mi instan bukanlah taktik meraup keuntungan berlebihan (greedflation). Efisiensi industri perlu dikedepankan agar harga mi instan lokan mampu bersaing dengan mi instan berbahan baku gandum impor. Selain itu, yang perlu dipertimbangkan, subsitusi bahan baku mi instan akan berpengaruh pada perubahan tampilan, rasa, dan tekstur. Produsen harus memastikan mi instan lokal tetap menjadi representasi selera nusantara dan mampu bersaing rasa dengan mi instan gandum.

Semua itu bisa dikembangkan UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) dengan dukungan pendekatan ABGC (Academician, Business, Government, Community). Akademisi, pelaku bisnis, pemerintah dan masyarakat bersinergi merakit teknologi, mendukung dan memfasilitasi iklim usaha. Masyarakat mengawalnya hingga produk menjadi milik bangsa dan bangga mengonsumsinya dalam keseharian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun