cancel culture, jika netizen sudah murka sepertinya semut pun tak akan berani menampakkan batang hidungnya.Â
Tampaknya memang tidak ada satupun yang kebal dariBooming media sosial telah memberikan kekuatan kepada massa untuk berbagi pendapat mereka tentang apapun termasuk brand dan mempengaruhi pendapat orang lain dengan sangat kuat. Tetapi sekitar 73% dari konsumen dalam sebuah survei mengatakan mereka cenderung tidak akan melakukan cancel culture pada sebuah brand jika ada alasan-alasan yang sangat krusial.
Artinya, jika brand tersebut masuk dalam katagori kebutuhan pokok dan tak tersedia substitusi yang lain, maka besar kemungkinan cancel culture hanya sebuah gertakan saja yang pada akhirnya mereka harus membeli barang tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Yap, benar, ternyata masih ada langkah antisipatif brand agar kebal dari cancel culture yaitu brand yang menguasai hajat hidup orang banyak,
Selama beberapa tahun terakhir, konsep cancel culture memang ditakuti oleh sebagai public figure atau siapapun yang berhadapan dengan publik online.Â
Ketika satu kesalahan saja yang dianggap tidak bisa ditolerir, maka selebriti atau merek tertentu akan berhadapan dengan badai api media sosial yang dapat dengan cepat merusak opini publik tentang orang atau entitas tersebut.Â
Bahkan merek kesayangan yang sudah dipakai selama puluhan tahun pun bisa ikut tergulung badai cancel culture jika terdapat satu hal yang memicu kemarahan netizen.
Menariknya dalam sebuah penelitian baru yang dilakukan oleh Porter Novelli bertujuan untuk membantu kita memahami mekanisme cancel culture, terdapat dua masalah utama yang menjadi fokus penelitian tersebut:
- Mengapa orang mau melakukan cancel culture pada sebuah brand yang sudah sangat terkenal dan apa yang mereka harapkan dan dapatkan dari aksi boikot tersebut?
- Berapa lama durasi cancel culture berlangsung dan apa yang diperlukan untuk mendapatkan kembali simpati publik dari opini media sosial yang sudah terlanjut terbentuk?
Proliferasi media sosial telah memberikan kekuatan kepada massa dan penguatan kepada individu. Konsumen sekarang menjadi sangat berani untuk berbagi pendapat dan keraguan mereka tidak hanya dengan jaringan mereka sendiri.Â
Faktanya, hampir 72 persen dari mereka yang disurvei merasa lebih berdaya daripada sebelumnya untuk membagikan pemikiran atau pendapat mereka tentang perusahaan.
Studi Porter Novelli menyimpulkan bahwa tidak ada merek yang terlewatkan dari cancel culture, bahkan merek yang memiliki penggemar setia. Sebanyak 66 persen dari mereka yang disurvei mengatakan meskipun mereka menyukai produk atau layanan perusahaan, mereka tetap akan memboikot perusahaan itu jika melakukan kesalahan atau menyinggung.
Tahun 2020 adalah tahun terjadinya kerusuhan sosial dan rasial sementara banyak orang di seluruh dunia baru mulai merasakan efek lockdown karena COVID.Â