Mohon tunggu...
Good Words
Good Words Mohon Tunggu... Penulis - Put Right Man on the Right Place

Pemerhati Bangsa

Selanjutnya

Tutup

Money

Quo Vadis Kedaulatan Pakan Ternak Kita

8 September 2021   13:52 Diperbarui: 8 September 2021   14:45 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peternak kita saat ini sedang menghadapi masa-masa yang begitu sulit. Bagaimana tidak, anjloknya harga telur dan harga pakan yang masih sangat mahal menjadi hambatan besar bagi peternak untuk menutupi biaya produksi yang semakin tinggi. Kondisi diperparah dengan menurunnya daya serap pasar untuk beberapa produk pangan dari peternakan akibat PPKM. Terlebih lagi beban bahan baku pakan seperti soybean meal atau bungkil kedelai harus diimpor dalam jumlah yang sangat besar untuk mencukupi kebutuhan produksi dalam negeri. Jika, situasi ini terus berlanjut tanpa ada reformasi menyeluruh, bukan tidak mungkin sektor peternakan akan mengalami stagnasi yang akan berdampak pada menurunnya kesejahteraan peternak.

Pakan merupakan salah satu komponen terpenting untuk menghasilkan produk peternakan yang berkualitas, biaya pakan memegang presentase tertinggi dalam biaya produksi yaitu 60--70 persen, sehingga fluktuasi harga pakan akan sangat mempengaruhi harga produk turunan ternak. Penyediaan pakan yang berkualitas dengan harga yang terjangkau dapat meningkatkan populasi ternak, produksi daging, susu, dan telur sebagai produk hasil peternakan.

Struktur industri pakan nasional saat ini membentuk kekuatan olgopoli yang dikuasai oleh beberapa perusahaan saja. Tentu saja hal ini akan membuka peluang bagi pihak-pihak yang ingin memburu rente dan membentuk munculnya kartel-kartel baru yang bisa merusak persaingan usaha. Mereka akan bermufakat untuk mengatur penetapan harga, pembagian wilayah, persekongkolan tender dan pembagian konsumen. Faktanya, saat ini komersialisasi pakan didominasi oleh beberapa perusahaan asing yang menguasai pangsa pasar lebih kurang 80%. Padahal di Indonesia, pelarangan praktik kartel dalam bisnis diatur pada Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Masih Didominasi Asing

Nahrowi Ramli, Pakar Nutrisi Ternak dari IPB University menyampaikan, di Indonesia memiliki industri pakan yang berjumlah 104, tersebar dari Pulau Jawa sampai luar Pulau Jawa dengan kapasitas 26 juta ton per tahun. Investasi asing (perusahaan PMA) memegang peranan penting dalam berkembangnya industri pakan di Indonesia. Pada mulanya, sekitar 1975, pabrik pakan utama adalah Charoen Pokphand dari Thailand, Cargill dari Amerika Serikat, dan Gold Coin dari Singapura. Sedangkan pabrik pakan lokal adalah Hirema, Metro, Buana, dan lain-lain.

Dengan berkembangnya industri pakan sejalan dengan berkembangnya industri ayam modern, maka terjadi persaingan usaha yang makin ketat dan perusahaan PMDN mulai bermunculan seperti Japfa Comfeed, Sinta Prima, Wonokoyo, Bamaindo, Mabar, dan sebagainya. Bukan hanya PMDN, perusahaan asing juga terus berdatangan dan terjadilah konsolidasi dan akusisi sehingga saat ini boleh dikatakan pabrik pakan dibagi ke dalam 3 lapis yaitu lapisan paling atas dikuasai oleh 2 perusahaan besar, lapisan menengah dikuasai oleh pabrik pakan yang berproduksi antara 100 ribu sampai 1 juta ton, dan lapisan ketiga dengan produksi per tahunnya di bawah 100 ribu ton.

Kelihatannya PMA menjadi dominan menguasai usaha pabrik pakan di Indonesia. Kemampuan modal dan manajerial beserta efisiensi produksi yang dilakukan PMA menjadikan pabrik pakannya berkembang secara pesat. Banyak perusahaan domestik kalah bersaing dengan PMA dan bahkan akan tutup manakala mereka tidak berubah dari "gaya kepemimpinan" tradisional perusahaan keluarga. Konsolidasi usaha akan terus berlanjut dalam usaha pabrik pakan bahkan perusahaan pabrik pakan akan melebar menjadi perusahaan unggas terintegrasi. Memang kalau dipelajari dari negara lain yang industri unggasnya maju dan berdaya saing, maka integrasi vertikal merupakan keharusan untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing.

Meskipun memiliki kapasitas yang besar, nyatanya produsen-produsen tersebut masih menggantungkan kebutuhan bahan baku impor. Sayangnya pengusaha pakan lokal belum mampu bersaing karena menghadapi banyak permasalahan terutama dalam penyediaan bahan baku dan permodalan.

Kendala yang saat ini masih dihadapi pengusaha lokal adalah ketergantungan terhadap bahan baku impor yang memengaruhi harga pakan sehingga bahan baku pakan lokal merupakan salah salah satu cara untuk menekan biaya produksi yang dikeluarkan tanpa mengabaikan kandungan kualitas nutrisinya.

Sampai saat ini bahan pakan impor yang tidak tersedia dalam lokal contohnya bungkil kedelai yang digunakan sebagai sumber protein utama dalam pakan. Artinya bungkil kedelai tidak diproduksi secara lokal dan belum ada bahan baku lokal yang dapat menggantikan penuh penggunaannya.

Berbeda dengan bungkil kedelai, bahan baku pakan dari jagung masih tersedia di dalam negeri. Meskipun demikian, peternak rakyat juga masih mengalami kesulitan untuk mendapatkan jagung lokal, dikarenakan lokasi panen yang jauh dari peternak. Sementara untuk jagung impor yang difasilitasi oleh Bulog, kualitas jagungnya semakin menurun, karena sudah lama. Lamanya penyerapan jagung impor ini dikarenakan penyerapan stok di area barat yang kurang maksimal. Untuk selanjutnya hal ini bisa dijadikan pelajaran, supaya Bulog bisa bekerja sama dengan asosiasi peternak ayam petelur untuk menentukan berapa banyak jagung yang akan disediakan untuk area barat, tengah, dan timur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun