BPK pernah memperingatkan Kementerian Keuangan soal anggaran pemulihan ekonomi yang terus membengkak hingga hampr menyentuh angka Rp. 700 triliun. Anggaran tersebut dinilai tanpa melalui estimasi yang akurat sehingga sering kali berubah ketika prakiraan kebutuhan penanganan Covid-19 kembali melonjak tinggi.Â
Benar saja, Menteri Keuangan Sri Mulyani membenarkan bahwa penyusuan Perppu No. 2 Tahun 2020 disusun tanpa dilandasi pada naskah akademik. Hal tersebut disampaikan oleh Sri Mulyani dalam webinar Business Talk Series yang digelar Sekolah Bisnis Institut Pertanian Bogor pada Sabtu (27/6/2020).
Naskah akademik merupakan seluruh kajian penting yang mendasari sebuah rancangan perundang-undangan, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Jika merujuk pada UU No.12 Tahun 2011, tidak semua rancangan peraturan harus disertai dengan naskah akademik.Â
Hanya beberapa peraturan yang sangat memerlukan keberadaan naskah akdemik, seperti RUU, Rancangan Perda (Ranperda) Provinsi, Kabupaten, dan Kota.Â
Meski tidak mutlak wajib, keberadaan naskah akademik akan mempersempit ruang debat saat rancangan peraturan tersebut dibahas. Selain itu, banyak aturan selain Undang-Undang yang dicabut Mahkamah Agung (MA) karena tidak dilengkapi dengan naskah akademik.
Ketika MA memutuskan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.17/MENLHK/SETJEN/HUM.1/2/2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.12/MENLHK-II/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri, setidaknya terdapat empat konsekuensi saat sebuah peraturan tidak didasari pada naskah akdemik.Â
Pertama, perumusan solusi permasalahan bangsa menjadi sangat tidak akurat, sehingga akan memperlebar debat publik terkait dasar ilmiah aturan tersebut. Hal ini juga pernah diingatkan oleh BPK agar penanganan Covid-19 tidak berakhir seperti penanganan BLBI atau Century.Â
Kedua, solusi atas permasalahan bangsa menjadi tidak lengkap, sehingga cenderung tanpa arah yang jelas. Ketiga, peraturan yang dibuat tidak dilandasi oleh landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Keempat, sasaran yang dirumuskan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam rancangan peraturan menjadi tidak komprehensif.
Tanpa naskah akademik, tidak mengejutkan jika pemerintah sering mengubah PP dengan alasan defisit anggaran harus diperlebar untuk memenuhi kebutuhan anggaran dalam negeri.Â
BPK menyebutkan anggaran penanganan Covid-19 terus meningkat tanpa memitigasi terlebih dahulu besaran anggaran sebelum diputuskan. Meski dengan alasan mendesak, tidak berarti anggaran penanganan kondisi darurat terlepas dari kajian mendalam mengingat pemerintah tidak kekurangan SDM mumpuni yang mampu melakukan estimasi dan kajian yang komprehensif.
Pemerintah mengaku trauma dengan kasus Bank Century tahun 2008, saat pemerintah mengambil keputusan berdasarkan data terbaru, tetapi terkait data tersebut tak ada pihak yang bersedia bertanggung jawab.Â
Ketika kasus tersebut berguril, data yang menjadi dasar penanganan terus bergerak sehingga dalam satu bulan data berubah banyak. Hal tersebut yang menyebabkan Perppu Corona terkesan sedikit longgar untuk memitigasi data yang terus bergerak sepanjang masa penanganan Covid-19.Â
Hanya saja, pemerintah dapat melakukan simulasi terburuk penanganan Covid menggunakan historical data tentang dampak Covid-19 terhadap perekonomian sehingga anggaran yang telah diestimasi dengan akurat tidak akan berubah banyak.
Anggaran Covid-19 saat ini sebesar Rp.695,2 triliun yang meningkatkan dari anggaran sebelumnya sebelumnya sebesar Rp.677,2 triliun.Â
Peningkatan anggaran tersebut disebabkan karena adanya peningkatan kebutuhan korporasi dan daerah yang bertambah di tengah upaya pemulihan Covid-19. Dengan melihat jumlah pasien positif Covid-19 sudah menembus angka 52 ribu dan akan terus bertambah, kemungkinan besaran anggaran dan defisit APBN akan terus direvisi menyesuaikan kondisi dan data terkini.
Jika anggaran besar telah dipersiapkan untuk memulihkan situasi terdampak pandemik, maka semestinya realisasi anggaran harus terserap cepat. Realisasi anggaran Covid justru berjalan lambat ditengah penambahan anggaran yang terus dilakukan.Â
Di bidang kesehatan, realisasi anggaran amsih sangat kecil yaitu 1,54 persen meskipunanggaran sudah dinaikkan menjadi Rp.87,5 triliun. Tentu saja ini mengkhawatirkan karena situasi Indonesia semakin tidak aman karena penambahan jumlah pasien Covid-19 tak kunjung melambat.Â
Terdapat gap antara realisasi keuangan dan fisik dengan anggaran yang disediakan maupun pelaksanaannya. Proses akselerasi realisasi anggaran seharusnya diselesaikan oleh BNPB, Kemenkes, serta daerah untuk biaya klaim perawatan pasien dan juga proses verifikasi. Proses pengawasan realisasi anggaran seharusnya dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Realisasi anggaran perlindungansosial sudah mencapai 28,63 persen, termasuk didalamnya bansos, diskon tarif listrik, kartu prakerja, BLT Dana Desa. Hambatan tersebesar dalam proses realisasi anggaran Covid-19 ada pada data penerima dan overlapping. Sedangkan pada insentif dunia usaha, penyerapan masih di kisaran 6,8 persen.Â
Permasalahannya adalah masih ada wajib pajak yang belum bahkan tidak mengajukan permohonan, sehingga perlu sosialisasi yang lebih intens. Bahkan yang lebih mengejutkan, realisasi anggaran Covid-19 untuk penyelamatan dan ketahanan UMKM masih 0,06 persen dengn kendala regulasi yang belum rampung, penyiapan data, dan infrastruktur IT untuk operasional.Â
Bahkan ada anggaran yang belum terealisasi sama sekali yaitu pembiayaan korporasi dengan hambatan menunggu penyelesaian skema dukungan dan regulasi, serta IT. Selama realisasi anggaran Covid-19 rendah, maka akan sangat sulit bagi pemerintah dalam menekan penyebaran Covid-19 dan sulit meminimalkan dampak yang ditimbulkan.
Banyak hambatan membuat realisasi anggaran menjadi sulit diakselerasi. Melihat realisasi anggaran Covid yang masih rendah, maka pemerintah perlu melakukan koordinasi yang lebih kuat dengan berbagai pemangku kepentingan agar akselerasi realisasi anggaran Covid-19 tak menemui hambatan yang berarti.Â
Jika realisasi anggaran sangat rendah, maka anggaran pemulihan ekonomi yang dirancang pemerintah tak sesuai dengan kebutuhan dan situasi dilapangan. Di satu sisi Kementerian Keuangan masih sibuk memperlebar defisit dengan alasan membutuhkan anggaran jumbo.Â
Di satu sisi, realisasi anggaran masih tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi, serta masih banyak ironi anggaran yang dirasakan oleh masyarakat luas.Â
Masyarakat merasa anggaran besar tak serta dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Oleh sebab itu, meski tanpa estimasi dan naskah akademik, revisi peraturan pemerintah serta anggaran Covid-19 harus mempertimbangkan kebutuhan masyarakat yang sebenarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H